Malam ini rasa
penasaran saya sudah tidak dapat ditahan lagi, membuncah pecah menjadi hasrat
yang harus segera di penuhi. Saya ingin bersilahturahmi mendaki kesana, kepada
sebuah gundukan batu yang paling tinggi diantara Perbukitan Walikukun. Tempat
legenda kisah cinta Joko Budeg dengan Dewi Roro Kembang Sore. Menyebutnya
sebagai Gunung Budheg yang kokok berdiri menyaksikan timbul tenggelamnya
peradapan Bumi Ngrowo.
Kami telah sepakat
untuk mendaki berempat. Berangkat dari arah yang berbeda, saya dari Kediri
sementara kawan lainnya dari Blitar. Senja mulai temaran ketika dua roda
melibas jalanan menuju Kecamatan Boyolangu. Sebuah daerah kecamatan di radius
lima kilometer selatan Kota Tulungagung. Start point di salah satu rumah rekan yang
lokasinya dua kilometer menuju target pendakian. Perbekalan logistik tertata
rapi dalam satu ransel dan tas backpack,
susunan barangnya sudah pas sehingga tidak “mbandul “ saat di panggul.
Sementara dua kawan yang lain bisa bergantian membawa jurigen air. Kami hanya
membawa flysheet sebagai alas dan untuk membuat bivak, saya rasa tidak perlu
membuat tenda karena bermalam di
ketinggian kurang dari seribu meter diatas permukaan laut hawa dingin masih
bisa di lawan dengan jalan mengigil.
Kami mulai menyusuri
setapak berbatu, mengarahkan sorot lampu senter untuk menunjukkan arah jalan. Gulita
perbukitan menghadirkan seram, hanya beberapa kunang-kunang yang mencoba
menandingi kerlip senter yang mulai meredup. Mungkin ini bagian kealphaan kami
sebagai manusia, merencanakan dengan baik tetapi masih ada yang terlupa “
charge baterai senter “untung saja masih ada cadangan beberapa senter kecil korek api. Saya kira
perjalanan mendaki kali ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Sekejap kemudian selama satu jam kami sudah
menapaki ketinggian dengan berjalan pelan dari titik awal pendakian. Dari
kejauhan kerlap kerlip lampu perkampungan terlihat jelas. Angin berhembus pelan
saat kami berada di vegetasi rerimbunan perdu yang tinggi, “Hem, aroma bunga
kantil sekejap memenuhi rongga hidung memicu bulu kuduk berdiri, merinding “.
Saya menghiraukan dengan prasangka baik,
mungkin disini ada pohon kantil yang sedang berbunga mekar. Memang di lokasi
ini seperti penuturan beberapa kawan-kawan yang sering turun naik Gunung Budheg
sudah biasa mencium aroma bunga kantil dan saya telah membuktikan ataukah ini
sebuah “sambutan”. Hanya sebentar kemudian netral, tepatnya di tanjakan sebelum
Watu Slendang.
Melintasi Watu Slendang
yang berada di tanjakan ini cukup menguji nyali. Lokasi ini dalam skala mini
tidak kalah dengan Watu Rejeng Gunung Semeru atau Pereng Putih Gunung Merbabu.
Menuju puncak dari Watu Slendang tanjakan semakin tajam, menapaki jalur yang
didominasi batuan diantara tebing dan jurang. Tibalah kami di puncak bayangan (
sebutan umum di seluruh gunung bahwa puncak bayangan merupakan pelawangan
menuju puncak utama ). Kami putuskan untuk beristirahat disini, di sebuah tanah
lapang yang cukup rata. Cuaca malam ini cerah bersahabat meski pada musim
kemarau seperti ini suhu udara ketinggian terasa dingin. Menggelar flysheet untuk
alas berbaring sambil mengamati cakrawala. Hening cakrawala dalam tenang dan
diam jutaan bintang tiba-tiba terusik oleh pemandangan kontras. Bukan cela dari
lintasan bintang jatuh tetapi drama kehidupan makhluk ciptaanNya. Meluncur
cepat diatas kami dua ekor Burung Hantu yang saling menghantamkan diri,
berputar putar kemudian saling menghantam lagi, berulang-ulang lebih dari lima
kali. Entah siapa yang terluka oleh cakar tajam dari tarian perang ini. Tidak
lebih dari tiga menit sajian pertarungan sengit itu terjadi di atas kami
selanjutnya mereka saling berkejaran, mengepakkan sayap dengan cepat lalu menghilang
ditelan pekat dan kami yang masih diam tercekat.
Menjelang pagi kami
masih terjaga, tiada suka cita dari para pendaki gunung selain obrolan panjang
dan ngopi merayakan kemenangan pencapaian. Kami segera bergegas menuju puncak
utama untuk menikmati moment matahari terbit. Tidak begitu lama kami sampai di
sebuah gundukan batu yang cukup sempit di mana jurang menganga dalam di
sekitarnya. Itulah puncak tertinggi Gunung Budheg. Ritual matahari terbit bagi
kami adalah kala menatap dunia tanpa tirai menghadap ke timur di pagi buta
menyaksikan peralihan gelap menuju terang. Di temani bebatuan basah, hembusan
angin, dingin udara dan tetesan embun. Proses indah yang berulang saat matahari
terbit, merah, bundar, besar lalu berpendar pancarkan cahaya terang menyilaukan
di puncak gunung. Suatu anugerah luar biasa bagi pendaki gunung yang di berikan
waktu sejenak untuk memahami dan menikmati keagungan sang pencipta melalui
proses bergantinya malam ke siang.
Diatas ketinggian mata
ini terus mencari, memperkirakan diantara gugusan perbukitan tempat berdiri
diatasnya Candi Dadi, lelah mata melotot dan sesekali berkedip tetapi tidak juga
menemukan walau itu hanya setitik, mungkin terhalang rimbun pepohonan lalu
pasrah memaklumi keterbatasan mata manusia. Hari terus bergerak, matahari mulai
terik menyengat. Menyempatkan sebentar untuk sarapan pagi sederhana menikamti
beraneka rasa gulai, soto, rendang yang tersaji dalam wadah bungkus mie
instant. Sepintas tapi jelas ada benda
yang menarik perhatianku di atas bebatuan, beberapa duri Landak tercecer.
Mungkin mereka hendak menyapa kami, bercerita lewat jejaknya bahwa diantara
lorong, celah dan goa-goa batu itu ada dunia gelap kehidupan Landak. Jejak
kehidupan yang selama ini sulit di temukan di perbukitan.
Mendaki Gunung Budheg,
alam yang menghampar menjadi guru. Terima kasih atas sambutan tarian perang
Burung Hantu, duri-duri Landak, dan semerbak aroma Bunga Kantil. Mereka yang
jauh bermukim lebih lama dari kita dan menjadikannya rumah yang indah. Sudah
selayaknya kita menjadi tamu yang baik. Cukup baginya, kita yang tidak mengusik
dan merusak.
Mendaki Gunung Budheg
tiga tahun silam dan tiga minggu yang lalu.