Kamis, 09 Juli 2015

TEPAT SATU RAMADAN



Tepat satu ramadhan, disaat kedalaman hati umat muslim yang taat merasakan bahagia tentang puasa pertama. Tuhan telah memberi duka, ujian bagi seorang anak yang menginjak remaja. Lengkap sudah karunia Tuhan pada hidupnya untuk menjadi seorang anak yatim piatu. Sebuah kecelakaan telah merenggut ibu yang dicintai darinya. Saya mengenal ibunya sebagai seorang wanita yang tangguh, disiplin dan taat beragama.  Saya menyesal tidak sempat menghadiri upacara pemakaman, menjadikan beliau sebagai sahabat sejati. Tak apa !, saya tetap yakin bahwa siapa saja yang menghadiri upacara pemakamannya akan lantang berseru " sae,.... sae....sae "-( baik...baik...baik  ) menjawab setiap pertanyaan modin sebagai wujud kesaksian atas perbuatan beliau dimasa hidup di dunia.  semoga khusnul khotimah. Amin
Saya mulai mengingat kembali perkenalan dengan beliau yang tidak terlalu lama ini dan saya tulis sebagai bentuk kesaksian bahwa beliau adalah orang yang "sae" ( baik ). Memikul tanggung jawab sebagai orang tua tunggal berjuang setiap hari berjualan. Caramu mendapatkan bahagia cukup dengan hal sederhana dan itu tidak mungkin bisa di beli oleh orang yang  kaya. Rezeki materi memang tidak seberapa tetapi kedalaman rasa yang membuat hidupmu tenang adalah limpahan karuniaNya yang tak terkira. Saya yakin kesungguhanmu memuliakan anak yatim akan berbalas surga. Pengorbanan yang tulus, ikhlas menghadirkan kegembiraan di hati anakmu. Memberinya yang terbaik dari halalnya upaya dan kerja keras mencari nafkah. Jika engkau harus melindungi, tindakanmu menembus batas nurani, sujud memohon, agar kesalahan yang di perbuat anakmu berbalas maaf. Tiada kebahagiaan dalam hati mereka yang berbagi selain ekspresi kesungguhan mereka yang menerima dengan sekalimat doa. Engkau telah menunjukkan kepada kami tentang doa yang dikatakan secara sederhana, “ matur nuwun sanget, mugi-mugi ingkang kuwoso paring keberkahan”. Amin.
Kami yang membaca tanda-tanda, diawal bulan suci, tepat satu Ramadan Tuhan telah memangilmu. Seorang ibu yang “ sae “, Sahabat muslim yang “sae”…… semoga khusnul khotimah….Ya, ummul Fatikah…Amin


MENDAKI GUNUNG BUDHEG, KAMI BERSILAHTURAHMI KERUMAH “MEREKA” (Tarian perang burung hantu, duri-duri landak dan aroma bunga kantil )




Malam ini rasa penasaran saya sudah tidak dapat ditahan lagi, membuncah pecah menjadi hasrat yang harus segera di penuhi. Saya ingin bersilahturahmi mendaki kesana, kepada sebuah gundukan batu yang paling tinggi diantara Perbukitan Walikukun. Tempat legenda kisah cinta Joko Budeg dengan Dewi Roro Kembang Sore. Menyebutnya sebagai Gunung Budheg yang kokok berdiri menyaksikan timbul tenggelamnya peradapan Bumi Ngrowo. 
Kami telah sepakat untuk mendaki berempat. Berangkat dari arah yang berbeda, saya dari Kediri sementara kawan lainnya dari Blitar. Senja mulai temaran ketika dua roda melibas jalanan menuju Kecamatan Boyolangu. Sebuah daerah kecamatan di radius lima kilometer selatan Kota Tulungagung. Start point di salah satu rumah rekan yang lokasinya dua kilometer menuju target pendakian. Perbekalan logistik tertata rapi dalam satu ransel dan tas  backpack, susunan barangnya sudah pas sehingga tidak “mbandul “ saat di panggul. Sementara dua kawan yang lain bisa bergantian membawa jurigen air. Kami hanya membawa flysheet sebagai alas dan untuk membuat bivak, saya rasa tidak perlu membuat  tenda karena bermalam di ketinggian kurang dari seribu meter diatas permukaan laut hawa dingin masih bisa di lawan dengan jalan mengigil.
Kami mulai menyusuri setapak berbatu, mengarahkan sorot lampu senter untuk menunjukkan arah jalan. Gulita perbukitan menghadirkan seram, hanya beberapa kunang-kunang yang mencoba menandingi kerlip senter yang mulai meredup. Mungkin ini bagian kealphaan kami sebagai manusia, merencanakan dengan baik tetapi masih ada yang terlupa “ charge baterai senter “untung saja masih ada cadangan  beberapa senter kecil korek api. Saya kira perjalanan mendaki kali ini tidak membutuhkan waktu yang lama.  Sekejap kemudian selama satu jam kami sudah menapaki ketinggian dengan berjalan pelan dari titik awal pendakian. Dari kejauhan kerlap kerlip lampu perkampungan terlihat jelas. Angin berhembus pelan saat kami berada di vegetasi rerimbunan perdu yang tinggi, “Hem, aroma bunga kantil sekejap memenuhi rongga hidung memicu bulu kuduk berdiri, merinding “. Saya menghiraukan  dengan prasangka baik, mungkin disini ada pohon kantil yang sedang berbunga mekar. Memang di lokasi ini seperti penuturan beberapa kawan-kawan yang sering turun naik Gunung Budheg sudah biasa mencium aroma bunga kantil dan saya telah membuktikan ataukah ini sebuah “sambutan”. Hanya sebentar kemudian netral, tepatnya di tanjakan sebelum Watu Slendang. 
Melintasi Watu Slendang yang berada di tanjakan ini cukup menguji nyali. Lokasi ini dalam skala mini tidak kalah dengan Watu Rejeng Gunung Semeru atau Pereng Putih Gunung Merbabu. Menuju puncak dari Watu Slendang tanjakan semakin tajam, menapaki jalur yang didominasi batuan diantara tebing dan jurang. Tibalah kami di puncak bayangan ( sebutan umum di seluruh gunung bahwa puncak bayangan merupakan pelawangan menuju puncak utama ). Kami putuskan untuk beristirahat disini, di sebuah tanah lapang yang cukup rata. Cuaca malam ini cerah bersahabat meski pada musim kemarau seperti ini suhu udara ketinggian terasa dingin. Menggelar flysheet untuk alas berbaring sambil mengamati cakrawala. Hening cakrawala dalam tenang dan diam jutaan bintang tiba-tiba terusik oleh pemandangan kontras. Bukan cela dari lintasan bintang jatuh tetapi drama kehidupan makhluk ciptaanNya. Meluncur cepat diatas kami dua ekor Burung Hantu yang saling menghantamkan diri, berputar putar kemudian saling menghantam lagi, berulang-ulang lebih dari lima kali. Entah siapa yang terluka oleh cakar tajam dari tarian perang ini. Tidak lebih dari tiga menit sajian pertarungan sengit itu terjadi di atas kami selanjutnya mereka saling berkejaran, mengepakkan sayap dengan cepat lalu menghilang ditelan pekat dan kami yang masih diam tercekat.
Menjelang pagi kami masih terjaga, tiada suka cita dari para pendaki gunung selain obrolan panjang dan ngopi merayakan kemenangan pencapaian. Kami segera bergegas menuju puncak utama untuk menikmati moment matahari terbit. Tidak begitu lama kami sampai di sebuah gundukan batu yang cukup sempit di mana jurang menganga dalam di sekitarnya. Itulah puncak tertinggi Gunung Budheg. Ritual matahari terbit bagi kami adalah kala menatap dunia tanpa tirai menghadap ke timur di pagi buta menyaksikan peralihan gelap menuju terang. Di temani bebatuan basah, hembusan angin, dingin udara dan tetesan embun. Proses indah yang berulang saat matahari terbit, merah, bundar, besar lalu berpendar pancarkan cahaya terang menyilaukan di puncak gunung. Suatu anugerah luar biasa bagi pendaki gunung yang di berikan waktu sejenak untuk memahami dan menikmati keagungan sang pencipta melalui proses bergantinya malam ke siang.
Diatas ketinggian mata ini terus mencari, memperkirakan diantara gugusan perbukitan tempat berdiri diatasnya Candi Dadi, lelah mata melotot dan sesekali berkedip tetapi tidak juga menemukan walau itu hanya setitik, mungkin terhalang rimbun pepohonan lalu pasrah memaklumi keterbatasan mata manusia. Hari terus bergerak, matahari mulai terik menyengat. Menyempatkan sebentar untuk sarapan pagi sederhana menikamti beraneka rasa gulai, soto, rendang yang tersaji dalam wadah bungkus mie instant.  Sepintas tapi jelas ada benda yang menarik perhatianku di atas bebatuan, beberapa duri Landak tercecer. Mungkin mereka hendak menyapa kami, bercerita lewat jejaknya bahwa diantara lorong, celah dan goa-goa batu itu ada dunia gelap kehidupan Landak. Jejak kehidupan yang selama ini sulit di temukan di perbukitan.
Mendaki Gunung Budheg, alam yang menghampar menjadi guru. Terima kasih atas sambutan tarian perang Burung Hantu, duri-duri Landak, dan semerbak aroma Bunga Kantil. Mereka yang jauh bermukim lebih lama dari kita dan menjadikannya rumah yang indah. Sudah selayaknya kita menjadi tamu yang baik. Cukup baginya, kita yang tidak mengusik dan merusak.
Mendaki Gunung Budheg tiga tahun silam dan tiga minggu yang lalu.

PILIH JALANMU SENDIRI UNTUK MENGGAPAI PUNCAK GUNUNG TELOMOYO

Banyak alternatif sarana untuk melakukan perjalanan. Mungkin kamu mempercayakan pada kedua roda motormu, Kokohnya empat roda mo...