PERJUMPAAN SAYA DENGAN PERITUAL GUNUNG
Diawal pagi. Cahaya
diufuk timur masih sebentuk garis jingga membelah cakrawala. Sementara didalam
tenda dua sahabat masih melingkar malas
terbungkus slepping bag. Di depan
perapian spirtus yang diatasnya ada setumpuk nesting, saya menyibukkan diri
untuk melawan dingin. Duduk diatas flysheet yang masih basah oleh embun
sementara tangan sibuk bermain dengan sendok dan garbu, menyiapkan makan
sederhana, sarapan pagi simple, cepat saji dan penuh kalori. Suara pelan yang menyapa
dari arah belakang memecah keheningan, membuat diri sedikit terhenyak. Saya
menoleh, memandang sesosok lelaki kurus tinggi dan berambut panjang berdiri
beberapa meter di belakang. Senyum dari lelaki itu sedikit meredakan ketegangan. Kemudian lelaki itu sedikit mendekat, saya
pun paham bahwa dia hanya ingin sekedar mencari sahabat.
Semula sedikit
canggung, kemudian kami mulai akrab. mungkin karena asal daerahnya sama, dia
mengenalkan diri bernama agus berasal dari Kediri dan tepatnya berdomisili di
salah satu desa di kecamatan Papar. Percakapan kami mulai menarik dan saya justru
lebih banyak bertanya karena keberadaan di puncak gunung itu lebih dari enam
bulan. Ya, saya berkenalan dengan seorang peritual gunung. Seringkali saya
bertemu dengan peritual gunung tetapi yang berusia muda sangat jarang. Tidak
tersirat kesedihan, senyumannya penuh kebahagiaan. Saya menanyakan tujuan
hingga untuk apa sampai beberapa bulan mendiami tempat yang sunyi seperti itu?
Bagaimana mengatasi problem logistik di mana kami harus bersusah payah mengendong
ransel dengan penuh perbekalan dan akan habis dalam waktu tiga samapai empat
hari saja? Beliau menjawab berikut penjelasannya dan semua terjawab bahwa
dengan keyakinan dan cara berfikir positif semua persoalan bisa teratasi. Jika
sudah menanamkan keyakinan untuk mampu bertahan maka kita bisa bertahan.
Tanpa air, udara mampu
memberi pasokan minum. Memperangkap kabut dan embun dikala kemarau, menampung
air hujan disaat musim penghujan. Rezeki dari alam tercurah dalam bentuk tiga
liter air bersih siap minum dan semangkuk makanan sederhana sayur dedaunan yang
tawar dan segar. Bahan baku melimpah di sela rerumputan. Silahturahmi pendaki
kepuncak gunung adalah sebuah keberkahan, sisa logistic dalam bentuk makanan
ataupun bahan bakar sering didapatkan sebagai ungkapan rasa persahabatan. Tidak
menjadikan kekurangan sebagai masalah yang di keluhkan. Menerima dengan ikhlas
apa yang didapat atas segenap upaya dan usaha. Hari demi hari di jalani
bermodalkan kuatnya keyakinan untuk mampu bertahan. Cara berfikir positif mampu
membunuh kejenuhan.
Mendiami gubuk kecil
yang terselip diantara bebatuan besar yang jika siang terpapar terik dan malam
tertusuk dingin. Seringkali harus berdesak-desakan beristirahat malam untuk
Berbagi tempat dengan mereka yang tidak membawa tenda saat mendaki. Cerita-ceritanya
sungguh mengagumkan tentang peritual-peritual gunung yang memberikan gambaran
tentang sisi lain dari tujuan kami dimana mendaki sebagai sarana olahraga dan
rekreasi. Mas agus adalah pribadi yang mudah bergaul, cepat akrab meski kami
baru berjumpa. Baginya betapa penting berinteraksi dengan orang lain. Bagaimanapun
juga sepi, dan sunyi yang berkepanjangan juga tidak nyaman. Manusia di ciptakan
sebagai mahluk social yang membutuhkan teman. Sebuah perjumpaan yang memberi
wawasan tentang pencarian jati diri, “banyu pertolo dan para pencari
benda-benda pusaka. Tentang menghalau sepi, dan hidup sendiri di sudut bumi.
Matahari mulai beranjak
meninggi, sinarnya semakin menyengat dan tidak bersahabat. Seperti yang
lainnya, kami tawarkan secangkir kopi, roti-roti kering dan tiga bungkus mie
instan sisa perbekalan. Sambil berbicara ringan tentang apa saja dan peradaban
di bawah sana.