Menunggu adalah suatu hal yang paling membosankan. Detik ini menuju
waktu pemberangkatan kereta api masih enam jam kedepan. Kami mencoba
rileks setelah dua hari menguras tenaga mendaki gunung ungaran. Melepas
penat disalah satu sudut embung (danau buatan ) tepat didepan stasiun
Tawang Semarang. Duduk dikursi kayu panjang menghadap meja yang
diatasnya tersaji aneka menu makanan khas jawa. Ya, kami berdua singgah
di warung angkringan Semarang. Ibu pedagang mencoba akrab dengan dengan
sedikit celetukan "mase ngelih (lapar ) banget to,tas tekan ndi lho!!!"
melihat kami berdua menghabiskan beberapa porsi "sego kucing". Saya
hanya tersenyum sementara kawan saya dengan diplomatis menjawab dan
mengomentari enaknya sambel teri.
Disudut lain tampak dua orang laki-laki paruh baya sedang bercakap.
Salah satu penampilannya lusuh, rambut sedikit gimbal sementara satunya
bersih dan rapi. Dengan nada yang cukup keras, tampak salah satu
menasehati yang lainnya. Sebelumnya bapak tersebut terlebih dahulu
meminta ijin kepada ibu pemilik warung dan kami. mungkin saja karena
suaranya yang terdengar lantang dianggap menggangu. Saya perhatikan dan
dengarkan dengan seksama apa yang di ucapkan bapak tadi kepada temannya.
"Wis kowe, mangan sik sing warek, kono jupuk gorengan, iki udud'e
(rokok)!!!. Ra sah kok pikir bayar'e, engko tak bayare. Tenangno pikir
lan totonen atimu, bar kuwi rungokno omonganku. Rentetan nasehat
diberikan dan jawaban pun dibatasi hanya dengan kata iso atau pora.
"kowe, kuwi ra isin karo keluarga, tonggo ro koncomu, we jik sehat,
delok awakmu jik roso, duwe keahlian pisan. Ra sin kowe nglandang nek
dalanan. Golek duwik,wi sing memper lan bener. yo...pora. Lha aku ngene
nuturi awakmu mergo jik ngangep konco..."
Lebih dari lima belas menit ceramah di sudut warung angkringan itu
tiada terputus, kawannya yang di nasehati entah mendengarkan atau tidak.
Apakah berkonsentrasi pada telingga untuk mendengar atau pada mulutnya
yang sibuk mengunyah makanan. Saya salut pada karibnya yang mau berbagi
makanan dan paling utama adalah kemuliaan nasehat. Saya tidak mau
melewatkan, suasana di tempat seperti ini saya bisa meresapi dan jauh
lebih menghayati makna kehidupan daripada tempat dengan fasilitas yang
sempurna. Saya pun ikut mendengarkan, memposisikan diri sebagai orang
yang juga di nasehati. Alunan suara logat semarang lebih dari sekedar
hipnotis motivasi. Dua orang sahabat yang sedang berbagi di bawah
temaram jingga warung angkringan. Garis besar saya menyimpulkan dalam
bahasa kebijaksanaan. Tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah. ( 3 Agustus 2015, perjalanan pulang dari mendaki gunung ungaran )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar