Rabu, 12 Agustus 2015

DI POJOK WARUNG ANGKRINGAN


Menunggu adalah suatu hal yang paling membosankan. Detik ini menuju waktu pemberangkatan kereta api masih enam jam kedepan. Kami mencoba rileks setelah dua hari menguras tenaga mendaki gunung ungaran. Melepas penat disalah satu sudut embung (danau buatan ) tepat didepan stasiun Tawang Semarang. Duduk dikursi kayu panjang menghadap meja yang diatasnya tersaji aneka menu makanan khas jawa. Ya, kami berdua singgah di warung angkringan Semarang. Ibu pedagang mencoba akrab dengan dengan sedikit celetukan "mase ngelih (lapar ) banget to,tas tekan ndi lho!!!" melihat kami berdua menghabiskan beberapa porsi "sego kucing". Saya hanya tersenyum sementara kawan saya dengan diplomatis menjawab dan mengomentari enaknya sambel teri.

Disudut lain tampak dua orang laki-laki paruh baya sedang bercakap. Salah satu penampilannya lusuh, rambut sedikit gimbal sementara satunya bersih dan rapi. Dengan nada yang cukup keras, tampak salah satu menasehati yang lainnya. Sebelumnya bapak tersebut terlebih dahulu meminta ijin kepada ibu pemilik warung dan kami. mungkin saja karena suaranya yang terdengar lantang dianggap menggangu. Saya perhatikan dan dengarkan dengan seksama apa yang di ucapkan bapak tadi kepada temannya. "Wis kowe, mangan sik sing warek, kono jupuk gorengan, iki udud'e (rokok)!!!. Ra sah kok pikir bayar'e, engko tak bayare. Tenangno pikir lan totonen atimu, bar kuwi rungokno omonganku. Rentetan nasehat diberikan dan jawaban pun dibatasi hanya dengan kata iso atau pora. "kowe, kuwi ra isin karo keluarga, tonggo ro koncomu, we jik sehat, delok awakmu jik roso, duwe keahlian pisan. Ra sin kowe nglandang nek dalanan. Golek duwik,wi sing memper lan bener. yo...pora. Lha aku ngene nuturi awakmu mergo jik ngangep konco..."

Lebih dari lima belas menit ceramah di sudut warung angkringan itu tiada terputus, kawannya yang di nasehati entah mendengarkan atau tidak. Apakah berkonsentrasi pada telingga untuk mendengar atau pada mulutnya yang sibuk mengunyah makanan. Saya salut pada karibnya yang mau berbagi makanan dan paling utama adalah kemuliaan nasehat. Saya tidak mau melewatkan, suasana di tempat seperti ini saya bisa meresapi dan jauh lebih menghayati makna kehidupan daripada tempat dengan fasilitas yang sempurna. Saya pun ikut mendengarkan, memposisikan diri sebagai orang yang juga di nasehati. Alunan suara logat semarang lebih dari sekedar hipnotis motivasi. Dua orang sahabat yang sedang berbagi di bawah temaram jingga warung angkringan. Garis besar saya menyimpulkan dalam bahasa kebijaksanaan. Tangan diatas lebih baik daripada tangan di bawah. ( 3 Agustus 2015, perjalanan pulang dari mendaki gunung ungaran )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PILIH JALANMU SENDIRI UNTUK MENGGAPAI PUNCAK GUNUNG TELOMOYO

Banyak alternatif sarana untuk melakukan perjalanan. Mungkin kamu mempercayakan pada kedua roda motormu, Kokohnya empat roda mo...