Jumat, 25 September 2015

PENDAKI DAN PERITUAL GUNUNG DALAM PERJALANAN MENUJU 1602 MDPL PUNCAK SONGOLIKUR GUNUNG MURIA




Rencana pendakian kali ini tidak boleh gagal terlaksana hanya karena suatu tugas mendadak dari kantor. Empat tiket kereta api pulang pergi Kediri menuju Semarang yang sudah berada di gengaman tangan tidak boleh hangus begitu saja ataupun di cancel untuk membatalkan rencana. Tanpa berfikir panjang kami putuskan untuk memajukan hari dari jadwal yang telah di rencanakan. Konsekuensinya biaya perjalanan meningkat lima puluh persen dari biaya semula. Sayang, jika harus membatalkan rencana perjalanan, tujuan kami sudah jelas untuk menggapai salah satu puncak gunung di Jawa Tengah. Kami membidik satu puncak di deretan perbukitan yang membentang di kabupaten Kudus dan Jepara. Kami akan mendaki Gunung Muria dengan puncak Songolikur Rahtawu Gebog Kudus dengan ketinggian 1.705 Mdpl.

Ada hikmah di balik suatu masalah jika kita menyikapi persoalan dengan baik. Perjalanan kami lalui malam hari sehingga aktivitas pendakian bisa kami lakukan pada siang hari. Perjalanan kereta api berangkat dari Stasiun Kediri pukul 23.15 WIB menuju ke Stasiun Tawang Semarang. Waktu masih pukul 04.00 WIB ketika perjalanan kami lanjutkan dengan menumpang Bus antar provinsi  menuju Kabupaten Kudus. Jalanan mulai ramai, para pekerja pabrik rokok mulai mangawali aktivitas. Angkutan umum dari terminal kudus menuju kecamatan Gebog penuh sesak dengan para Buruh Rokok yang berangkat bekerja. Pemberhentian terakhir angkutan umum tepat berada di depan Pabrik rokok Sukun. Tampak di kejauhan Gunung muria menjulang dengan beberapa puncaknya.



Meski masuk ke dalam satu wilayah kecamatan, dari tempat pemberhentian angkutan umum menuju ke Desa Rahtawu terutama di pos pendakian Gunung Muria masih berjarak lebih dari 10 Kilometer. Dari sini menuju Desa Rahtawu sudah tidak ada angkutan umum, hanya sesekali truck bak terbuka pengangkut hasil pertanian yang lewat. Kami beruntung karena  salah satu rekan pendaki yang tinggal di Kabupaten Jepara berniat menjadi penunjuk jalan dalam pendakian kali ini. Kami menunggu cukup lama sambil beristirahat di depan kompleks pabrik rokok Sukun. Waktu telah menunjukkan pukul 09.15 WIB di hari sabtu tanggal 15 Agustus 2015, Rasa kantuk langsung sirna ketika satu sepeda motor yang di kendarai seorang pemuda dengan ransel kecil di punggungnya berhenti tepat di depan tempat kami beristirahat. Rekan saya langsung menyapa, mencoba mengakrapi kawan yang sudah cukup lama tidak berjumpa. Menawarkan persahabatan ala pendaki gunung. 

Menuju ke pos pendakian di Desa Rahtawu kami diangkut bergantian dengan sepeda motor. Jalanan menanjak dan berkelak-kelok menyusuri tepian sungai. Desa Rahtawu merupakan desa wisata yang menyajikan pemandangan alam yang indah. Di sana banyak di temukan petilasan tempat pertapaan, patirtan dan punden yang di percaya masyarakat sebagai sarana meditasi tokoh-tokoh pewayangan. Ada beberapa petilasan dengan petunjuk arah yang jelas seperti petilasan Eyang Mada, Eyang Pandu Dewananta, Eyang Manunayasa, Abiyasa, Sekutrem dan Bambang Sakri.  Pantangan bagi masyarakat Desa Rahtawu adalah tidak boleh mengelar pertunjukan kesenian wayang karena menurut legenda, Gunung Muria merupakan tempat pamoksan tokoh-tokoh pewayangan. Konon jika pantangan tersebut di langgar dengan menggelar pertunjukan wayang maka akan menyebabkan musibah bagi warga masyarakat Desa Rahtawu.

Setelah sarapan pagi ala kadarnya di salah satu warung, kami memulai pendakian pada pukul 10.15 WIB. Target pendakian hari ini akan kami lakukan langsung menuju Puncak Songolikur, menginap di puncak semalam selanjutnya besok turun gunung. Kawan kami sebagai penunjuk jalan tampak begitu hafal jalur pendakian.  Ada dua jalur yaitu melalui Dusun Semliro Desa Rahtawu Gebog Kudus dan jalur Desa Tempur di Kabupaten Jepara. Puncak Songolikur merupakan batas dua kabupaten yaitu Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara. Dari Puncak Songolikur nampak di sisi lain Desa Tempur berada di lembah lembah hijau yang indah. Di kejauhan lautan pantai utara samar tertutup awan.  Puncak Songolikur berada pada ketinggian 1.522 Meter diatas permukaan laut. Puncak Songolikur merupakan puncak tertinggi di Gunung Muria, konon tempat ini di huni oleh sang Hyang Wenang salah satu tokoh tertua dalam dunia pewayangan. Beberapa puncak membentang berurutan mulai dari puncak Saptorenggo, Puncak Ringgit, Puncak Songolikur dan Puncak Atas Angin. Pendakian di mulai dengan menyusuri lahan pertanian penduduk. Jalan setapak berbatu selebar 2 meter bisa di lalui dengan kendaran bermotor. Mengitari beberapa bukit dalam waktu satu setengah jam kami sampai di Sendang Bunton. Sendang Bunton merupakan tempat peristirahatan yang nyaman karena pendaki bisa mandi di aliran air sendang yang diarahkan ke bilik-bilik pemandian. Sendang Bunton di sakralkan oleh masyarakat Desa Rahtawu. Kesegaran air Sendang Bunton tiada duanya, meminum air yang memiliki tiga rasa langsung membuat tubuh kembali bugar. Konon di Sendang Bunton terdapat air yang di namakan Banyu Pertolo. Air tersebut menurut peritual Gunung Muria bisa di jadikan berbagai macam obat dan jika di rebus titik didihnya lebih dari 100 derajat celcius.


Tujuan mendaki Gunung Muria tidak hanya untuk kegiatan olahraga mendaki gunung seperti halnya kami tetapi mayoritas pendaki adalah peritual gunung yang sedang menjalankan suatu perjalanan spiritual. Pada saat itu kami bersamaan dengan beberapa kelompok peritual gunung yang akan bermeditasi di  Puncak Songolikur. Beberapa peralatan ritual di bawa seperti kemenyan, hio, sesajen dll. Berbagai harapan di panjatkan oleh peritual gunung ketika bermeditasi di Puncak Songolikur. Dari Sendang Bunton perjalanan kami lanjutkan menuju puncak, di sepanjang perjalanan kami menemui beberapa petilasan.  Mendaki Gunung Muria jangan takut kita akan kehabisan bekal karena di sepanjang jalur banyak kita temui warung makan. Memang warung-warung tersebut didirikan oleh warga untuk memenuhi kebutuhan logistic para peritual gunung. Puncak keramaian perjalanan spiritual pendakian Gunung Muria pada saat bulan syuro. 

Kami beristirahat sejenak di pos terakhir menuju puncak. Kerimbunan hutan dengan popohonan besar menjadi pelindung dari sengatan terik matahari. Di halaman sebuah warung yang tutup kami penuhi energi tubuh dengan memakan beberapa batang coklat dan menengak air Sendang Bunton yang rasanya segar seperti sprite. Setelah ini jalur menuju puncak kurang lebih berjarak  500 meter tetapi medan begitu menantang karena trek menanjak berbatu siap menghadang, memacu adrenalin kami apalagi angin berhembus menderu cukup kencang. Dari bawah tampak bendera merah putih berkibar-kibar di puncak Songolikur menunjukkan titik terakhir pendakian kami. Setelah beristirahat 30 menit kami melanjutkan perjalanan, memang jalur ini cukup menguras tenaga jika mendakinya pada siang hari. Bebatuan besar yang menghadang di sepanjang jalur memaksa kami untuk merangkak dan memanjat untuk menggapai tempat lebih atas. Kami selinggi perjalanan pendakian ini dengan mendokumentasikan keindahan alam di sepanjang jalur pendakian kedalam foto.


Dua gapura berwarna merah yang tersusun dari batu bata sudah berada lima belas meter diatas kami. Alhamdullilah, kami telah menggapai puncak Songolikur, tidak lupa sujud syukur atas karunianya bisa mendaki sampai sejauh ini. Bendera merah putih berkibar bebas tanpa penghalang. Beberapa bangunan petilasan, warung dan tempat peristirahatan memenuhi puncak yang tempatnya tidak terlalu luas. Puncak tersebut menyambung dengan puncak lainnya yang berbatu dengan jarak limapuluh meter. Di puncak berbatu ini di percaya oleh para peritual dan gunung sebagai tempat moksa dan bersemedi eyang Semar. Saya mengintip salah satu gubuk kecil yang di buat diantara bebatuan besar tersebut. Tampak dua orang sedang terlelap, nampaknya mereka adalah para peritual gunung. Menurut penuturan rekan pendaki bahwa salah satu dari mereka telah berada di puncak Gunung Muria untuk bersemedi lebih dari enam bulan. 

Selepas mengabadikan moment puncak kami segera mendirikan tenda di samping gubuk seng yang kosong milik pedagang makanan di Puncak Songolikur. Sebelum gelap kami menyiapkan makan, beberapa mie instan dan minuman berkalori cukup membantu memulihkan tenaga. Kami lalui malam dengan tidur di dalam tenda meskipun tidak terlalu terlelap karena lelah dan dingin udara pegunungan membuat tidur menjadi kurang nyaman. Beberapa tenda mulai berdiri di sekitar kami. Satu persatu pendaki tiba di puncak malam ini. Mereka melakukan pendakian di malam hari untuk menghindari sengatan terik disiang hari. Moment sunrise tidak pernah kami lewatkan ketika berada di puncak gunung. Kami mempersiapkan diri, bangun di saat cahaya masih temaram. Tampak puluhan pendaki sudah memenuhi Puncak Songolikur, semua menghadap ketimur menegadahkan kamera membidik sedikit cahaya jingga yang mulai menerobos kabut.  Pagi ini cuaca cukup cerah. Kabut yang menyelimuti puluhan perbukitan lambat laun tersingkap. Dingin mulai mereda selanjutnya cahaya mengirim kehangatan pada tubuh.



Sebelum berkemas turun sesosok lelaki muda kurus tinggi menghampiri kami. Beliau menyapa dengan sedikit senyuman mencoba menunjukkan keramahan untuk membangun pertemanan. Lelaki itu yang kemarin tertidur berada di gubug sebelah petilasan. Kami saling memperkenalkan diri, selanjutnya berbagi cerita. Beliau telah berada di Puncak Songolikur lebih dari 6 bulan untuk menemukan jati diri dan bermeditasi. Beberapa tips dan teknik survival di bagikan kepada kami, mengenali tumbuhan-tumbuhan hutan yang bisa di konsumsi. Sebelum berpamitan untuk turun kami ucapkan terima kasih dan memberikan sebagian sisa logistik.

Perjalanan turun kami lalui dengan cepat, berjalan pelan hampir dua jam kami telah tiba di pos pendakian awal, sempat istirahat sebentar di Sendang bunton untuk mandi. Keril kami menjadi lebih berat karena sesak terisi beberapa botol air yang kami ambil dari sendang bunton. Kami berpamitan dengan rekan pendaki yang telah dengan sukarela menemani perjalanan dan menunjukkan jalan menuju puncak Songolikur. Menuju kembali ke kecamatan Gebog kami mencari tumpangan angkutan bak terbuka, setelah dua kali menumpang kami sampai kembali di kota kecamatan Gebog. Suasana kota kecamatan Gebog saat itu ramai karena ada kegiatan karnaval menyambut event perayaaan kemerdekaan Republik Indonesia. Kami segera bergegas menuju terminal dengan menumpang angkutan umum. Waktu perjalanan kereta masih cukup lama. Kami beristirahat di terminal sambil menikmati kuliner khas Kudus. Soto Kerbau ternyata nikmat sekali, sayang kemarin kami tidak sempat menikmati Lentog Tanjung yang katanya juga enak.


Keesokan harinya, tanggal 17 Agustus 2015 pukul 06.35 WIB kereta api tepat mengantarkan kami di Stasiun Kediri. Alhamdullilah, semua berjalan sesuai dengan rencana dalam menjalankan agenda pendakian. Meskipun semalam tidak cukup lelap tertidur tetapi hari ini harus lebih bersemangat. Walaupun tidak sempat mandi tetapi masih cukup waktu untuk memenuhi undangan mengikuti Upacara bendera. Hiduplah Indonesia raya.

Route Perjalanan :
Kereta Api Stasiun Tawang Semarang – Terminal Terboyo Semarang – Terminal Kudus – Angkutan Umum ke Kecamatan Gebog – Ojek atau menumpang truck Bak Terbuka ke arah Desa Rahtawu.

Route pendakian :
1.      Pos pendakian – Sendang Bunton ( 1,5 jam
2.      Sendang Bunton – Pelawangan ( 1 jam )
3.      Pelawangan – Puncak 29 ( 45 menit )

Catatan perjalanan
15-17 agustus 2015
Pendakian Gunung Muria, Rahtawu Gebog Kudus 
SABAWANA MAHACITA INDONESIA Menggapai Atap-Atap Jawa Tengah 2015-2016.
Arif Widiyatmoko, Pris Kusaini, Dewantoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PILIH JALANMU SENDIRI UNTUK MENGGAPAI PUNCAK GUNUNG TELOMOYO

Banyak alternatif sarana untuk melakukan perjalanan. Mungkin kamu mempercayakan pada kedua roda motormu, Kokohnya empat roda mo...