Catatan : Silahturahmi kepada mereka yang memberi inspirasi.
Layar handphone ku menunjukkan,
ada panggilan masuk. Kupandang sebentar, Satu nama tertera di layar. Aku sudah
mengenalnya lama sekali, sebut saja namanya Ibu Febri. Segera aku angkat ada
apa gerangan, satu kabar dari beliau. Biasanya jika tidak ada kepentingan yang
mendesak beliau hanya SMS menanyakan kabar keluarga sebagai bentuk perhatian
atas persahabatan. “ Saya ingin ngobrol via telephone dengan bapak, sekalian menghabiskan pulsa gratis yang akan
berakhir jam lima sore” .
Aku mendengarkan dan membiarkan
saja beliau bercerita tentang kisah hidupnya yang penuh anomali. Di tata
sedemikian rupa, di atur dengan rapi dan di antisipasi jauh-jauh hari.
Kenyataannya musibah dan ujian datang tiba-tiba tanpa di duga dan di prediksi sebelumnya.
Ini tentang ujian orang tua atas perilaku anak. Tentang peribahasa air susu
dibalas dengan air tuba. Beliau orang tua tunggal atas anak semata wayang. Seorang
diri berusaha mendidik anak dengan sebaik-baiknya dan memberikan yang terbaik
dalam keterbatasan.
Rumah yang di beli dengan jerih
payah bertahun-tahun, mengumpulkan sedikit demi sedikit dalam sekejap akan
sirna. Pontang panting menutup hutang yang tidak tahu akad dan tidak jelas
peruntukannya. Di tagih dan di mintai pertanggungan jawab atas perbuatan yang
tidak di lakukan, karena dia adalah seorang ibu dari anak tidak bertanggung
jawab. Meninggalkan ibunya sendiri dengan beban masalah yang berat tanpa memberikan
solusi.
Derai airmata dalam ketidakberdayaan
tidak akan menjawab dan menyelesaian persoalan. Beliaupun bangkit mengatasi
sesuai kemampuan. Mempersilahkan bank mengeksekusi rumahnya. Menjual apapun
yang dia punya. Menguatkan diri dan meminta perlindungan kepadaNya. Berusaha
mengiklaskan dan menyadari bahwa semua adalah milikNya. Titipan Tuhan yang
tidak akan pernah di miliki abadi. Semua akan musnah dengan jalannya sendiri.
“ Nak, ibu telah menasehati,
memberikan saran dan masukan. Meski kini tak mampu lagi memberi dan membantumu.
Setiap keputusan yang kamu ambil maka resiko akan menjadi tanggunganmu sendiri.
Kamu bertanggung jawab atas dirimu sendiri” Awalnya tidak menerima apa yang
telah terjadi. Menjadikan masalah sebagai beban berat, putus asa dan kecewa.
Melampiaskan dengan tangisan dan ocehan, hal manusiawi bagi setiap manusia.
Kini dengan support keluarga yang hadir mengguatkan, para sahabat yang memberi
semangat. Mengalirkan motivasi positif dalam diri, fikiran dan hati. Kegalauan
itu berubah menjadi kerinduan. Mendekatkan diri kepada Tuhan, Berdoa dan
bermunajat setiap saat. Tenggelam di keheningan sepertiga malam dalam
kekhusyuan sholat tahajud. memohon ketabahan dan kesabaran.
“ Pak, Sekarang saya bisa
tersenyum dan tertawa kembali, menatap lagi masa depan. Harapanku sederhana saja.
Agar anakku kembali ke arah yang benar, jalan kebaikan. Dan aku akan kembali ke
kampung halaman hidup biasa dan sederhana bersama saudara. Masih tersisa
sepetak tanah kecil untuk tempat mencari rezeki.” Tidak ada lagi tangis kecewa,
yang tersisa hanyalah rasa haru. Kesan mendalam dari kepedulian rekan. “Masing
terbayang saat hari raya di mana orang-orang merayakan dengan suka cita dalam
kelebihan, saya merayakan sendiri dalam kesepian dan kekurangan. Sampai tidak
satupun rupiah uang di saku. Di saat itulah banyak yang peduli membantu dan
menolong. Memberikan makanan dan uang. Kebaikan dari teman-teman”.
Satu jam lebih beliau bercerita
pengalaman hidupnya. Satu Ujian hidup yang tidak mudah di jalani. Waktu yang
menjawab atas kesabaran dan ketabahan seseorang. Dan sayapun mempunyai kesan
mendalam tentang beliau yang senangtiasa
mendoakan kebahagiaan para sahabat beserta keluarganya meski beliau dalam
keprihatinan atas cobaan hidup seperti itu. Sebelum sempat mengakhiri
pembicaraan itu dengan salam, sambungan telephone tiba-tiba terputus. Saya
lihat layar handphone waktu sudah menunjukkan pukul lima sore.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar