Catatan : Silahturahmi ke mereka
yang memberi inspirasi
Hari masih pagi, petugas security
terlihat sibuk membantu rekannya membersihkan halaman. Saya duduk sendiri di ruang
depan kantor. Mengamati jalanan yang
ramai lalu lalang kendaraan. Di seberang
jalan di bawah rindang pepohonan, terlihat seorang ibu mengendong anak balita. Bajunya
lusuh, meneteng tas plastic hitam dan bundelan kecil di selendang gendongan. Tampak
anak itu masih terlelap tidur dengan tenang.
Ibu itu sepertinya sedang menunggu sesuatu. Sekejap kemudian tangannya
melambai. Bus kecil berhenti, mengilangkan sosoknya yang sedari tadi saya
amati.
Melihat drama tiga menit di
seberang jalan depan kantor. Mengingatkan saya pada peristiwa tiga tahun yang
lalu. Anganpun melayang ke masa silam. Pertemuan saya dengan seorang ibu dan
anak balitanya. Pertemuan yang terkesan prosedural. Langkah dan upaya yang
sebisa mungkin saya hindari. “Apakah hanya untuk berkomunikasi saja harus
menggunakan surat somasi?”. Tapi itulah yang terjadi. Lebih dari lima kali saya
bersilahturahmi ke rumahnya di gang sempit di seberang sungai. Tidak pernah
sekalipun berjumpa, apalagi berkomunikasi menyampaikan maksud dan tujuan untuk
bersama-sama mencari solusi.
Didalam satu ruang, dengan
sedikit gemetar ibu itu menunjukkan selembar surat. Raut mukanya terlihat
takut, maklum juga, ketika sudah berbicara pasal-pasal, aturan hukum apalagi
berurusan dengan penegak hukum sebagian besar orang pasti gentar. Saya mencoba
mencairkan suasana, sedikit mengajak bercanda, anaknya pun tampak gelisah. Saya
tidak berusaha segera mencecar dengan pertanyaan. Interograsi yang terkesan
tidak manusiawi. Suasana mulai tenang dan saya persilahkan beliau bercerita.
Kemana selama ini sehingga sulit berjumpa apalagi untuk berkomunikasi.
Beliau bercerita entah itu benar
atau tidak, tetapi tetesan airmata cukuplah meyakinkan saya bahwa ceritanya
tidak di rekayasa. Tentang lika-liku kehidupan. Mencari penghidupan di pasar
dan jalanan. Berharap belas dan kasih, meminta-minta. Suaminya pun juga
bekerja. Tetapi apalah daya, pendapatan tidak mampu menggapai kebutuhan rumah
tangga. Apalagi harus dengan konsisten menyelesaikan kewajiban, tentu akan
terlambat. Seringkali meng “ kambing hitamkan “ karakter tetapi ini masalah
kemampuan dan kapasitas. Siapa yang tidak terenyuh mendengar kisah seperti itu.
Fikiran terbang kemana-mana, membayangkan hal yang sungguh menyedihkan.
Saya tertegun sekejap, tiada berguna
bicara andaikan. Waktu tidak dapat di putar kembali untuk menolak permohonan
fasilitas kreditnya. Menjadi pelajaran agar kita semakin berhati-hati, Tidak
semuanya kebutuhan modal di selesaikan dengan cara berhutang, masih banyak
alternative lain, Membantu tidak berarti harus menerima, menolakpun kita bisa
menolong mereka. Saya hanya butuh komitmen. Mengajaknya berfikir sejenak, untuk
mengkalkulasi dan menghitung ulang seberapa beliau mampu dengan kelongaran pendapatan.
Akhirnya, di capai kesepakatan untuk pembaharuan. Hari ini menuju tiga tahun ke
depan. Semoga waktu, ke depan menuntunnya menuju jalan kebaikan ekonomi. Hadiah
bagi siapa saja yang mau berusaha dan bekerja keras.
Telah lama melupakan, sepintas dalam kesempatan
waktu yang terbatas. Melihat lagi fakta komitmennya yang terangkum dalam
selembar kertas. Urutan bulan telah terisi nominal angka yang sama. Kembali
lancar seperti harapan kami berdua. Saya tidak ingin perbaikan ini karena
paksaan dari selembar surat tetapi lebih pada perbaikan ekonomi.
Pagi itu, saya seorang diri melihat
seorang ibu mengendong anak balita pergi menumpang bus. Tetapi sayang, sayapun
belum berkesempatan berjumpa. Di satu hari, di setiap bulan di tiga tahun
terakhir ini. Ada seorang ibu entah masih bersama anak balitanya atau tidak,
turun dari angkutan umum di depan kantor. Bersilahturahmi di waktu ruangan ini
telah ramai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar