Jumat, 25 September 2015

PENDAKI DAN PERITUAL GUNUNG DALAM PERJALANAN MENUJU 1602 MDPL PUNCAK SONGOLIKUR GUNUNG MURIA




Rencana pendakian kali ini tidak boleh gagal terlaksana hanya karena suatu tugas mendadak dari kantor. Empat tiket kereta api pulang pergi Kediri menuju Semarang yang sudah berada di gengaman tangan tidak boleh hangus begitu saja ataupun di cancel untuk membatalkan rencana. Tanpa berfikir panjang kami putuskan untuk memajukan hari dari jadwal yang telah di rencanakan. Konsekuensinya biaya perjalanan meningkat lima puluh persen dari biaya semula. Sayang, jika harus membatalkan rencana perjalanan, tujuan kami sudah jelas untuk menggapai salah satu puncak gunung di Jawa Tengah. Kami membidik satu puncak di deretan perbukitan yang membentang di kabupaten Kudus dan Jepara. Kami akan mendaki Gunung Muria dengan puncak Songolikur Rahtawu Gebog Kudus dengan ketinggian 1.705 Mdpl.

Ada hikmah di balik suatu masalah jika kita menyikapi persoalan dengan baik. Perjalanan kami lalui malam hari sehingga aktivitas pendakian bisa kami lakukan pada siang hari. Perjalanan kereta api berangkat dari Stasiun Kediri pukul 23.15 WIB menuju ke Stasiun Tawang Semarang. Waktu masih pukul 04.00 WIB ketika perjalanan kami lanjutkan dengan menumpang Bus antar provinsi  menuju Kabupaten Kudus. Jalanan mulai ramai, para pekerja pabrik rokok mulai mangawali aktivitas. Angkutan umum dari terminal kudus menuju kecamatan Gebog penuh sesak dengan para Buruh Rokok yang berangkat bekerja. Pemberhentian terakhir angkutan umum tepat berada di depan Pabrik rokok Sukun. Tampak di kejauhan Gunung muria menjulang dengan beberapa puncaknya.



Meski masuk ke dalam satu wilayah kecamatan, dari tempat pemberhentian angkutan umum menuju ke Desa Rahtawu terutama di pos pendakian Gunung Muria masih berjarak lebih dari 10 Kilometer. Dari sini menuju Desa Rahtawu sudah tidak ada angkutan umum, hanya sesekali truck bak terbuka pengangkut hasil pertanian yang lewat. Kami beruntung karena  salah satu rekan pendaki yang tinggal di Kabupaten Jepara berniat menjadi penunjuk jalan dalam pendakian kali ini. Kami menunggu cukup lama sambil beristirahat di depan kompleks pabrik rokok Sukun. Waktu telah menunjukkan pukul 09.15 WIB di hari sabtu tanggal 15 Agustus 2015, Rasa kantuk langsung sirna ketika satu sepeda motor yang di kendarai seorang pemuda dengan ransel kecil di punggungnya berhenti tepat di depan tempat kami beristirahat. Rekan saya langsung menyapa, mencoba mengakrapi kawan yang sudah cukup lama tidak berjumpa. Menawarkan persahabatan ala pendaki gunung. 

Menuju ke pos pendakian di Desa Rahtawu kami diangkut bergantian dengan sepeda motor. Jalanan menanjak dan berkelak-kelok menyusuri tepian sungai. Desa Rahtawu merupakan desa wisata yang menyajikan pemandangan alam yang indah. Di sana banyak di temukan petilasan tempat pertapaan, patirtan dan punden yang di percaya masyarakat sebagai sarana meditasi tokoh-tokoh pewayangan. Ada beberapa petilasan dengan petunjuk arah yang jelas seperti petilasan Eyang Mada, Eyang Pandu Dewananta, Eyang Manunayasa, Abiyasa, Sekutrem dan Bambang Sakri.  Pantangan bagi masyarakat Desa Rahtawu adalah tidak boleh mengelar pertunjukan kesenian wayang karena menurut legenda, Gunung Muria merupakan tempat pamoksan tokoh-tokoh pewayangan. Konon jika pantangan tersebut di langgar dengan menggelar pertunjukan wayang maka akan menyebabkan musibah bagi warga masyarakat Desa Rahtawu.

Setelah sarapan pagi ala kadarnya di salah satu warung, kami memulai pendakian pada pukul 10.15 WIB. Target pendakian hari ini akan kami lakukan langsung menuju Puncak Songolikur, menginap di puncak semalam selanjutnya besok turun gunung. Kawan kami sebagai penunjuk jalan tampak begitu hafal jalur pendakian.  Ada dua jalur yaitu melalui Dusun Semliro Desa Rahtawu Gebog Kudus dan jalur Desa Tempur di Kabupaten Jepara. Puncak Songolikur merupakan batas dua kabupaten yaitu Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara. Dari Puncak Songolikur nampak di sisi lain Desa Tempur berada di lembah lembah hijau yang indah. Di kejauhan lautan pantai utara samar tertutup awan.  Puncak Songolikur berada pada ketinggian 1.522 Meter diatas permukaan laut. Puncak Songolikur merupakan puncak tertinggi di Gunung Muria, konon tempat ini di huni oleh sang Hyang Wenang salah satu tokoh tertua dalam dunia pewayangan. Beberapa puncak membentang berurutan mulai dari puncak Saptorenggo, Puncak Ringgit, Puncak Songolikur dan Puncak Atas Angin. Pendakian di mulai dengan menyusuri lahan pertanian penduduk. Jalan setapak berbatu selebar 2 meter bisa di lalui dengan kendaran bermotor. Mengitari beberapa bukit dalam waktu satu setengah jam kami sampai di Sendang Bunton. Sendang Bunton merupakan tempat peristirahatan yang nyaman karena pendaki bisa mandi di aliran air sendang yang diarahkan ke bilik-bilik pemandian. Sendang Bunton di sakralkan oleh masyarakat Desa Rahtawu. Kesegaran air Sendang Bunton tiada duanya, meminum air yang memiliki tiga rasa langsung membuat tubuh kembali bugar. Konon di Sendang Bunton terdapat air yang di namakan Banyu Pertolo. Air tersebut menurut peritual Gunung Muria bisa di jadikan berbagai macam obat dan jika di rebus titik didihnya lebih dari 100 derajat celcius.


Tujuan mendaki Gunung Muria tidak hanya untuk kegiatan olahraga mendaki gunung seperti halnya kami tetapi mayoritas pendaki adalah peritual gunung yang sedang menjalankan suatu perjalanan spiritual. Pada saat itu kami bersamaan dengan beberapa kelompok peritual gunung yang akan bermeditasi di  Puncak Songolikur. Beberapa peralatan ritual di bawa seperti kemenyan, hio, sesajen dll. Berbagai harapan di panjatkan oleh peritual gunung ketika bermeditasi di Puncak Songolikur. Dari Sendang Bunton perjalanan kami lanjutkan menuju puncak, di sepanjang perjalanan kami menemui beberapa petilasan.  Mendaki Gunung Muria jangan takut kita akan kehabisan bekal karena di sepanjang jalur banyak kita temui warung makan. Memang warung-warung tersebut didirikan oleh warga untuk memenuhi kebutuhan logistic para peritual gunung. Puncak keramaian perjalanan spiritual pendakian Gunung Muria pada saat bulan syuro. 

Kami beristirahat sejenak di pos terakhir menuju puncak. Kerimbunan hutan dengan popohonan besar menjadi pelindung dari sengatan terik matahari. Di halaman sebuah warung yang tutup kami penuhi energi tubuh dengan memakan beberapa batang coklat dan menengak air Sendang Bunton yang rasanya segar seperti sprite. Setelah ini jalur menuju puncak kurang lebih berjarak  500 meter tetapi medan begitu menantang karena trek menanjak berbatu siap menghadang, memacu adrenalin kami apalagi angin berhembus menderu cukup kencang. Dari bawah tampak bendera merah putih berkibar-kibar di puncak Songolikur menunjukkan titik terakhir pendakian kami. Setelah beristirahat 30 menit kami melanjutkan perjalanan, memang jalur ini cukup menguras tenaga jika mendakinya pada siang hari. Bebatuan besar yang menghadang di sepanjang jalur memaksa kami untuk merangkak dan memanjat untuk menggapai tempat lebih atas. Kami selinggi perjalanan pendakian ini dengan mendokumentasikan keindahan alam di sepanjang jalur pendakian kedalam foto.


Dua gapura berwarna merah yang tersusun dari batu bata sudah berada lima belas meter diatas kami. Alhamdullilah, kami telah menggapai puncak Songolikur, tidak lupa sujud syukur atas karunianya bisa mendaki sampai sejauh ini. Bendera merah putih berkibar bebas tanpa penghalang. Beberapa bangunan petilasan, warung dan tempat peristirahatan memenuhi puncak yang tempatnya tidak terlalu luas. Puncak tersebut menyambung dengan puncak lainnya yang berbatu dengan jarak limapuluh meter. Di puncak berbatu ini di percaya oleh para peritual dan gunung sebagai tempat moksa dan bersemedi eyang Semar. Saya mengintip salah satu gubuk kecil yang di buat diantara bebatuan besar tersebut. Tampak dua orang sedang terlelap, nampaknya mereka adalah para peritual gunung. Menurut penuturan rekan pendaki bahwa salah satu dari mereka telah berada di puncak Gunung Muria untuk bersemedi lebih dari enam bulan. 

Selepas mengabadikan moment puncak kami segera mendirikan tenda di samping gubuk seng yang kosong milik pedagang makanan di Puncak Songolikur. Sebelum gelap kami menyiapkan makan, beberapa mie instan dan minuman berkalori cukup membantu memulihkan tenaga. Kami lalui malam dengan tidur di dalam tenda meskipun tidak terlalu terlelap karena lelah dan dingin udara pegunungan membuat tidur menjadi kurang nyaman. Beberapa tenda mulai berdiri di sekitar kami. Satu persatu pendaki tiba di puncak malam ini. Mereka melakukan pendakian di malam hari untuk menghindari sengatan terik disiang hari. Moment sunrise tidak pernah kami lewatkan ketika berada di puncak gunung. Kami mempersiapkan diri, bangun di saat cahaya masih temaram. Tampak puluhan pendaki sudah memenuhi Puncak Songolikur, semua menghadap ketimur menegadahkan kamera membidik sedikit cahaya jingga yang mulai menerobos kabut.  Pagi ini cuaca cukup cerah. Kabut yang menyelimuti puluhan perbukitan lambat laun tersingkap. Dingin mulai mereda selanjutnya cahaya mengirim kehangatan pada tubuh.



Sebelum berkemas turun sesosok lelaki muda kurus tinggi menghampiri kami. Beliau menyapa dengan sedikit senyuman mencoba menunjukkan keramahan untuk membangun pertemanan. Lelaki itu yang kemarin tertidur berada di gubug sebelah petilasan. Kami saling memperkenalkan diri, selanjutnya berbagi cerita. Beliau telah berada di Puncak Songolikur lebih dari 6 bulan untuk menemukan jati diri dan bermeditasi. Beberapa tips dan teknik survival di bagikan kepada kami, mengenali tumbuhan-tumbuhan hutan yang bisa di konsumsi. Sebelum berpamitan untuk turun kami ucapkan terima kasih dan memberikan sebagian sisa logistik.

Perjalanan turun kami lalui dengan cepat, berjalan pelan hampir dua jam kami telah tiba di pos pendakian awal, sempat istirahat sebentar di Sendang bunton untuk mandi. Keril kami menjadi lebih berat karena sesak terisi beberapa botol air yang kami ambil dari sendang bunton. Kami berpamitan dengan rekan pendaki yang telah dengan sukarela menemani perjalanan dan menunjukkan jalan menuju puncak Songolikur. Menuju kembali ke kecamatan Gebog kami mencari tumpangan angkutan bak terbuka, setelah dua kali menumpang kami sampai kembali di kota kecamatan Gebog. Suasana kota kecamatan Gebog saat itu ramai karena ada kegiatan karnaval menyambut event perayaaan kemerdekaan Republik Indonesia. Kami segera bergegas menuju terminal dengan menumpang angkutan umum. Waktu perjalanan kereta masih cukup lama. Kami beristirahat di terminal sambil menikmati kuliner khas Kudus. Soto Kerbau ternyata nikmat sekali, sayang kemarin kami tidak sempat menikmati Lentog Tanjung yang katanya juga enak.


Keesokan harinya, tanggal 17 Agustus 2015 pukul 06.35 WIB kereta api tepat mengantarkan kami di Stasiun Kediri. Alhamdullilah, semua berjalan sesuai dengan rencana dalam menjalankan agenda pendakian. Meskipun semalam tidak cukup lelap tertidur tetapi hari ini harus lebih bersemangat. Walaupun tidak sempat mandi tetapi masih cukup waktu untuk memenuhi undangan mengikuti Upacara bendera. Hiduplah Indonesia raya.

Route Perjalanan :
Kereta Api Stasiun Tawang Semarang – Terminal Terboyo Semarang – Terminal Kudus – Angkutan Umum ke Kecamatan Gebog – Ojek atau menumpang truck Bak Terbuka ke arah Desa Rahtawu.

Route pendakian :
1.      Pos pendakian – Sendang Bunton ( 1,5 jam
2.      Sendang Bunton – Pelawangan ( 1 jam )
3.      Pelawangan – Puncak 29 ( 45 menit )

Catatan perjalanan
15-17 agustus 2015
Pendakian Gunung Muria, Rahtawu Gebog Kudus 
SABAWANA MAHACITA INDONESIA Menggapai Atap-Atap Jawa Tengah 2015-2016.
Arif Widiyatmoko, Pris Kusaini, Dewantoro

Selasa, 01 September 2015

PARA PEMBURU SUNRISE DI PUNCAK GUNUNG UNGARAN




Tepat awal agustus 2015 jam 13.00 WIB Kereta api mulai meluncur, mengarah ke utara dari stasiun Kdiri. Jika ada yang membaca dua tiket yang tergeletak di sisi tempat duduk kami pasti orang itu dapat menebak kemana arah perjalanan kami, apalagi bicara tentang tujuan perjalanan, pasti siapa saja dengan mudah menebak jika melihat dua ransel yang terselip dibagasi atas tempat duduk ini dan border emblem beberapa gunung yang menempel di baju kami. Mas-mas ini tentu mau mendaki gunung. Enam jam perjalanan nyaman dalam kereta dan sesuai dengan waktu tempuh yang tertera pada tiket, tepat kami tiba di tujuan, stasiun Tawang Semarang. 

Sebuah gunung di barat daya Kabupaten Semarang, Gunung Ungaran dengan ketinggian 2050 Meter diatas permukaan laut ( Mdpl ) menjadi tujuan kami. Ini adalah sebuah awal dari serangkaian target kami untuk mendaki sepuluh gunung di jawa tengah. Sebuah proyek kecil-kecilan bertajuk “menuju atap-atap jawa tengah 2015-2016 “. Malam mulai larut, tapi semangat belum surut. Tepatnya di Kecamatan Bandungan kami mulai menginjakan kaki di ketinggian lereng Gunung Ungaran. Sampai di tempat ini merupakan perjuangan berat bagi kami dalam melakukan perjalanan di malam hari. Dari Stasiun Tawang Semarang naik angkutan kota menuju terminal Terboyo Semarang kemudian perjalanan kami lanjutkan dengan menumpang bus menuju Ambarawa. Menuju kecamatan Bandungan kami tempuh dengan menumpang truck, malam hari tidak ada angkutan umum menuju Kecamatan Bandungan. Untung saja ada truck yang akan mengambil pasir memberi tumpangan pada kami. Truck berhenti di pasar Jimbaran, selanjutnya perjalanan kami teruskan dengan berjalan kaki menuju Candi Gedongsongo, sesuai rencana start pendakian kami mulai dari Candi Gedongsongo dan finish di Pos Mawar Sidomukti. Jarum jam menunjukkan pukul 00. 15 WIB, rasa lelah dan kantuk sudah tidak dapat ditahan lagi ketika kami tiba di pertigaan jalur menuju Candi Gedongsongo, di samping POM bensin ada sedikit tempat yang nyaman untuk bermalam. Kami dirikan tenda di sepetak kecil taman dengan sebelumnya meminta izin pada petugas POM bensin.


Pagi tiba dengan cepat di hari Minggu tanggal 2 Agustus 2015, seakan hanya beberapa menit saja tertidur atau mungkin lelap kami begitu kuat sehingga waktu terpangkas tak terasa. Kami berkemas  untuk selanjutnya trekking menuju Candi Gedongsongo. Sebelumnya kami mempersiapkan diri dengan sarapan pagi dan tentunya mandi dan gosok gigi.  Kami mulai menapaki ketinggian Candi Gedongsongo, waktu menunjukkan pukul 09.15 WIB. Estimasi pendakian kali ini dengan perjalanan mendaki santai target waktu yang kami tetapkan sekitar 6 jam atau sebelum matahari terbenam kami sudah mendirikan tenda di puncak Gunung Ungaran.  Dingin udara pegunungan mampu mengalahkan terik matahari, kesejukan di seputar Candi gedongsongo mencerminkan rangking di urutan pertama tempat di Asia tenggara dengan bioenergi terbaik. Kesempatan yang tidak boleh di lewatkan untuk menghirup udara bersih sepuas-puasnya. 

Selepas batas wisata Candi Gedongsongo dengan belantara Gunung ungaran Kami mulai menerobos semak-semak. Jalur menanjak curam pada kemiringan 60 derajat. Hampir satu setengah jam kami menempuh perjalanan diantara vegetasi semak dan pepohonan perdu, matahari tepat diatas kepala. Jalur melingkar-lingkar di punggungan perbukitan, sampai di sini Puncak Gunung Ungaran belum terlihat. Kami beristirahat di tempat yang lapang, cukup lama di batas vegetasi semak dengan vegetasi hutan hujan yang rapat. Makan dan minum berkalori tinggi mampu memulihkan tenaga dari rasa lelah berjalan dan beban memanggul ransel. 

Kami meneruskan perjalanan setelah hampir 30 menit beristirahat, kelebatan hutan hujan di lereng atas Gunung Ungaran mengingatkan kami pada Alas lumut Wukir Negoro Gunung Butak Kawi yang ada di Kabupaten malang. Sunyinya mampu menundukkan hati dari rasa berani menjadi rasa takut. Kami berdoa agar tempat-tempat seperti ini tetap lestari, menjadi pabrik -pabrik udara paling bersih di muka bumi ini. Kami terus berjalan, Puncak Botak salah satu dari tiga puncak Gunung Ungaran mulai terlihat. Tampak samar ada beberapa manusia tengah berdiri diatasnya. Jalur pendakian dari Wisata Candi Gedongsongo tidak ada pos pendakian seperti halnya jalur melalui Pos Mawar Sidomukti. Hanya ada petunjuk arah yang di pasang para pendaki berupa papan besi yang di tempelkan pada pepohonan, jalurpun masih samar tertutup kerapatan semak belukar. Kami bertemu dengan beberapa pendaki gunung yang baru turun dari Puncak Gunung Ungaran sementara untuk pendaki yang naik lewat jalur candi Gedongsongo tidak ada yang di temui selain kami berdua. Memang berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari beberapa orang petugas tempat wisata Candi Gedongsongo mayoritas jalur Gedongsongo hanya di gunakan sebagai jalur turun sementara untuk naik lebih banyak melalui jalur Pos Mawar Sidomukti atau melalui Desa Promasan. Hal ini cukup cerdik karena turun melalui candi Gedongsongo kita bisa masuk tempat wisata gratis. lumayan bisa menghemat 7.500 per orang untuk tiket masuk wisata candi Gedongsongo.


Kami sampai pada pertigaan jalur, kekiri mengarah ke puncak Gunung Ungaran sementara ke kanan mengarah ke puncak Botak. Di pertigaan jalur tersebut terdapat tempat lapang yang bisa di gunakan sebagai tempat camp. Nampak beberapa tenda berdiri, sepertinya dari organisasi pecinta alam yang sedang mengadakan diklat lapangan. Kami memilih jalur kekiri seperti petunjuk dari pendaki yang turun,  sebentar lagi kami akan mencapai puncak Gunung Ungaran. Kumandang azan ashar sayup-sayup terdengar. Lepas dari trek yang menanjak dan menyusuri kelebatan hutan kami tiba di puncak Gunung Ungaran. Tugu triangulasi nampak berdiri kokoh, tugu yang di buat oleh satu kesatuan militer dengan identitas simbol ketentaraan. Keril yang menjadi beban kami lepaskan, kepuasan akan kemenangan menggapai Puncak Ungaran mampu menghapus rasa letih. Hanya kami berdua yang berada di puncak Ungaran saat itu. Kibaran bendera merah putih yang membubung tinggi di angkasa mengawali pencapaian kami di langkah awal pendakian atap-atap Jawa Tengah. 

Waktu terus bergerak cepat mengantar kami di penghujung senja, sebentar lagi malam menjemput. Tenda sudah berdiri di antara semak-semak yang cukup tinggi. Kami rasa sudah aman untuk melindungi dari hantaman angin. Meski dingin kemarau begitu menggigit tetapi jaket dan sleping bag r*i milikku mampu menghalau. Sepi dan hanya ada suara kami berdua malam ini. Mengingat sebelum tangan menjadi kaku di genggam dingin kami segera memasak makanan sederhana, siap saji, simple dan penuh kalori. Logistik masih tersisa dua pertiga dari apa yang telah kami bawa. Menurut  estimasi kami, perbekalan ini cukup untuk memenuhi kebutuhan makan untuk dua hari kedepan. Sesuai rencana, besok setelah tenda mengering dari basah embun kami akan segera turun. Sayang surplus perbekalan makanan tidak di imbangi dengan perbekalan air yang cukup. Air hanya tersisa kurang dari satu liter. Kami sudah siapkan rentangan flysheet untuk menjebak embun dan berharap di pagi hari kami mendapatkan ada tambahan logistic berupa air minimal setengah liter. 

Diawal pagi hari Senin tanggal 3 Agustus 2015. Cahaya diufuk timur masih sebentuk garis jingga membelah cakrawala. Sementara didalam tenda salah satu sahabat  masih melingkar malas terbungkus slepping bag. Saya membangunkan dia, agar moment ini tidak terlewatkan bagi kami, para pemburu sunrise. Saya mengintip dari balik tenda kabut tipis masih menyelimuti puncak, menengadah kelangit dan cuaca cerah mendukung untuk menyaksikan sunrise. Kami segera bergegas menuju hamparan batu di puncak tertinggi mencari posisi untuk melihat luasnya dunia. Barisan gunung-gunung di Jawa Tengah seakan melayang diatas awan. Dari sisi timur ada Gunung Lawu, bergeser keselatan puncak Merbabu dan tampak sedikit di baliknya puncak Merapi menuju ke arah barat ada triple s ( Sumbing, Sindoro dan Slamet ). Cahaya jingga itu adalah yang terbaik dari sekian banyak sunrise yang pernah kami lihat di puncak gunung, anugerah bagi kami para pendaki yang menyaksikan bergantinya gelap menuju terang saat cahaya jingga berpendar bundar selanjutnya menjadi terang menyilaukan. Puncak Gunung Ungaran, memberi hadiah tidak terduga untuk kami para pemburu sunrise.

Selepas makan pagi dan minum air embun, badan mulai bugar terlebih hampir semalaman kami habiskan waktu untuk tidur. Sedikit bermalas-malasan sambil menunggu tenda kering kami manfaatkan untuk mengabadikan lanskape Puncak Ungaran. Tepat pukul 10.00 WIB kami bergegas turun menuju Pos Mawar Sidomukti, jalur ini ternyata cukup ekstrem, bertolak belakang dengan rute pendakian kami dari Candi Gedongsongo. Mendaki masih di naungi dengan kesejukan udara sementara turunnya penuh peluh tersengat terik, apalagi perbekalan minum kami tinggal seperempat liter. Jalur terjal dan curam membentang di hadapan kami sementara di kejauhan membentang luas hamparan perkebunan teh Medini. Kami terus berjalan turun secepatnya mencari sumber mata air. Pos tiga berupa gubuk kecil  dipunggungan gunung telah terlampaui selanjutnya sampai pada pertigaan jalur dengan petunjuk yang mengarah ke desa Promasan dan petunjuk yang mengarah ke Pos Mawar, kami terus berjalan melewati pos dua hingga sampai di kolam air yang jernih. Kami sempatkan untuk beristirahat di sini, minum air sepuasnya dan mandi. Tubuh kembali bugar, kami lanjutkan perjalanan turun, tak begitu lama kami sampai di pos satu. Sebelumnya melewati air terjun kecil. Pukul 13.15 WIB kami tiba di Pos Mawar Sidomukti. Kami beristirahat dulu di shelter Pos Mawar sebelum berangkat pulang menuju Kota Semarang.  Waktu kami cukup lama karena kereta api menuju Kediri masih pukul 23.40 WIB.


Rute Perjalanan dan waktu tempuh pendakian  :
Stasiun Tawang Semarang – Bus menuju Ambarawa / solo turun di pom bensin menuju ke gedongsongo selanjutnya naik angkutan menuju Kecamatan Bandungan – Turun di Pasar Jimbaran – Naik Ojek atau trekking menuju Candi Gedongsongo ( jalur Gedongsongo ) atau menuju desa Sidomukti ( jalur Pos Mawar Sidomukti ). Perjalanan malam hari dari Stasiun Tawang naik angkutan ke Terminal Terboyo selanjutnya perjalanan dengan Bus Semarang-Solo, Turun Pom Bensin Arah menuju Kecamatan Bandungan. Dari Pom Bensin tidak ada angkutan umum, perjalanan bisa di lanjutkan dengan ojek atau mencari tumpangan truk sayur arah jimbaran Bandungan, jarak sekitar 18 Kilometer. Untuk biaya Dari stasiun tawang sampai dengan Pasar jimbaran ( angkutan bus kota dan angkot ) biaya +/- 25.000 / orang. Malam hari biaya perjalanan lebih mahal.
Jalur pendakian ada 3 ( jalur medini Desa Promasan, jalur Gedongsongo dan Jalur Pos Mawar Sidomukti ), Puncak Gunung Ungaran ada 3 ( Puncak Botak, Puncak Gendol dan Puncak Ungaran ) waktu tempuh dari jalur Gedongsongo menuju Puncak Ungaran +/-6 jam dan turun sekitar 3 jam. Ada 3 pos jika melalui Mawar jarak tempuh Pos mawar ke pos I sekitar 30 Menit, Pos I menuju pos II sekitar 30 menit, Pos II Menuju Pos III sekitar 1 jam, Pos III menuju puncak Ungaran sekitar 1,5 Jam. Total waktu pendakian 3,5 jam 

PILIH JALANMU SENDIRI UNTUK MENGGAPAI PUNCAK GUNUNG TELOMOYO

Banyak alternatif sarana untuk melakukan perjalanan. Mungkin kamu mempercayakan pada kedua roda motormu, Kokohnya empat roda mo...