Rencana pendakian kali ini
tidak boleh gagal terlaksana hanya karena suatu tugas mendadak dari kantor.
Empat tiket kereta api pulang pergi Kediri menuju Semarang yang sudah berada di
gengaman tangan tidak boleh hangus begitu saja ataupun di cancel untuk
membatalkan rencana. Tanpa berfikir panjang kami putuskan untuk memajukan hari
dari jadwal yang telah di rencanakan. Konsekuensinya biaya perjalanan meningkat
lima puluh persen dari biaya semula. Sayang, jika harus membatalkan rencana
perjalanan, tujuan kami sudah jelas untuk menggapai salah satu puncak gunung di
Jawa Tengah. Kami membidik satu puncak di deretan perbukitan yang membentang di
kabupaten Kudus dan Jepara. Kami akan mendaki Gunung Muria dengan puncak
Songolikur Rahtawu Gebog Kudus dengan ketinggian 1.705 Mdpl.
Ada hikmah di balik
suatu masalah jika kita menyikapi persoalan dengan baik. Perjalanan kami lalui
malam hari sehingga aktivitas pendakian bisa kami lakukan pada siang hari. Perjalanan
kereta api berangkat dari Stasiun Kediri pukul 23.15 WIB menuju ke Stasiun
Tawang Semarang. Waktu masih pukul 04.00 WIB ketika perjalanan kami lanjutkan
dengan menumpang Bus antar provinsi
menuju Kabupaten Kudus. Jalanan mulai ramai, para pekerja pabrik rokok
mulai mangawali aktivitas. Angkutan umum dari terminal kudus menuju kecamatan
Gebog penuh sesak dengan para Buruh Rokok yang berangkat bekerja. Pemberhentian
terakhir angkutan umum tepat berada di depan Pabrik rokok Sukun. Tampak di
kejauhan Gunung muria menjulang dengan beberapa puncaknya.
Meski masuk ke dalam
satu wilayah kecamatan, dari tempat pemberhentian angkutan umum menuju ke Desa
Rahtawu terutama di pos pendakian Gunung Muria masih berjarak lebih dari 10 Kilometer.
Dari sini menuju Desa Rahtawu sudah tidak ada angkutan umum, hanya sesekali
truck bak terbuka pengangkut hasil pertanian yang lewat. Kami beruntung
karena salah satu rekan pendaki yang
tinggal di Kabupaten Jepara berniat menjadi penunjuk jalan dalam pendakian kali
ini. Kami menunggu cukup lama sambil beristirahat di depan kompleks pabrik
rokok Sukun. Waktu telah menunjukkan pukul 09.15 WIB di hari sabtu tanggal 15
Agustus 2015, Rasa kantuk langsung sirna ketika satu sepeda motor yang di
kendarai seorang pemuda dengan ransel kecil di punggungnya berhenti tepat di
depan tempat kami beristirahat. Rekan saya langsung menyapa, mencoba mengakrapi
kawan yang sudah cukup lama tidak berjumpa. Menawarkan persahabatan ala pendaki
gunung.
Menuju ke pos pendakian
di Desa Rahtawu kami diangkut bergantian dengan sepeda motor. Jalanan menanjak
dan berkelak-kelok menyusuri tepian sungai. Desa Rahtawu merupakan desa wisata
yang menyajikan pemandangan alam yang indah. Di sana banyak di temukan
petilasan tempat pertapaan, patirtan dan punden yang di percaya masyarakat
sebagai sarana meditasi tokoh-tokoh pewayangan. Ada beberapa petilasan dengan
petunjuk arah yang jelas seperti petilasan Eyang Mada, Eyang Pandu Dewananta,
Eyang Manunayasa, Abiyasa, Sekutrem dan Bambang Sakri. Pantangan bagi masyarakat Desa Rahtawu adalah
tidak boleh mengelar pertunjukan kesenian wayang karena menurut legenda, Gunung
Muria merupakan tempat pamoksan tokoh-tokoh pewayangan. Konon jika pantangan
tersebut di langgar dengan menggelar pertunjukan wayang maka akan menyebabkan
musibah bagi warga masyarakat Desa Rahtawu.
Setelah sarapan pagi
ala kadarnya di salah satu warung, kami memulai pendakian pada pukul 10.15 WIB.
Target pendakian hari ini akan kami lakukan langsung menuju Puncak Songolikur, menginap
di puncak semalam selanjutnya besok turun gunung. Kawan kami sebagai penunjuk
jalan tampak begitu hafal jalur pendakian.
Ada dua jalur yaitu melalui Dusun Semliro Desa Rahtawu Gebog Kudus dan
jalur Desa Tempur di Kabupaten Jepara. Puncak Songolikur merupakan batas dua
kabupaten yaitu Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara. Dari Puncak Songolikur
nampak di sisi lain Desa Tempur berada di lembah lembah hijau yang indah. Di kejauhan
lautan pantai utara samar tertutup awan. Puncak Songolikur berada pada ketinggian 1.522
Meter diatas permukaan laut. Puncak Songolikur merupakan puncak tertinggi di
Gunung Muria, konon tempat ini di huni oleh sang Hyang Wenang salah satu tokoh
tertua dalam dunia pewayangan. Beberapa puncak membentang berurutan mulai dari
puncak Saptorenggo, Puncak Ringgit, Puncak Songolikur dan Puncak Atas Angin.
Pendakian di mulai dengan menyusuri lahan pertanian penduduk. Jalan setapak
berbatu selebar 2 meter bisa di lalui dengan kendaran bermotor. Mengitari
beberapa bukit dalam waktu satu setengah jam kami sampai di Sendang Bunton.
Sendang Bunton merupakan tempat peristirahatan yang nyaman karena pendaki bisa
mandi di aliran air sendang yang diarahkan ke bilik-bilik pemandian. Sendang
Bunton di sakralkan oleh masyarakat Desa Rahtawu. Kesegaran air Sendang Bunton
tiada duanya, meminum air yang memiliki tiga rasa langsung membuat tubuh
kembali bugar. Konon di Sendang Bunton terdapat air yang di namakan Banyu
Pertolo. Air tersebut menurut peritual Gunung Muria bisa di jadikan berbagai
macam obat dan jika di rebus titik didihnya lebih dari 100 derajat celcius.
Tujuan mendaki Gunung
Muria tidak hanya untuk kegiatan olahraga mendaki gunung seperti halnya kami
tetapi mayoritas pendaki adalah peritual gunung yang sedang menjalankan suatu
perjalanan spiritual. Pada saat itu kami bersamaan dengan beberapa kelompok
peritual gunung yang akan bermeditasi di
Puncak Songolikur. Beberapa peralatan ritual di bawa seperti kemenyan,
hio, sesajen dll. Berbagai harapan di panjatkan oleh peritual gunung ketika bermeditasi
di Puncak Songolikur. Dari Sendang Bunton perjalanan kami lanjutkan menuju
puncak, di sepanjang perjalanan kami menemui beberapa petilasan. Mendaki Gunung Muria jangan takut kita akan kehabisan
bekal karena di sepanjang jalur banyak kita temui warung makan. Memang
warung-warung tersebut didirikan oleh warga untuk memenuhi kebutuhan logistic
para peritual gunung. Puncak keramaian perjalanan spiritual pendakian Gunung
Muria pada saat bulan syuro.
Kami beristirahat
sejenak di pos terakhir menuju puncak. Kerimbunan hutan dengan popohonan besar
menjadi pelindung dari sengatan terik matahari. Di halaman sebuah warung yang
tutup kami penuhi energi tubuh dengan memakan beberapa batang coklat dan
menengak air Sendang Bunton yang rasanya segar seperti sprite. Setelah ini
jalur menuju puncak kurang lebih berjarak
500 meter tetapi medan begitu menantang karena trek menanjak berbatu
siap menghadang, memacu adrenalin kami apalagi angin berhembus menderu cukup
kencang. Dari bawah tampak bendera merah putih berkibar-kibar di puncak
Songolikur menunjukkan titik terakhir pendakian kami. Setelah beristirahat 30
menit kami melanjutkan perjalanan, memang jalur ini cukup menguras tenaga jika
mendakinya pada siang hari. Bebatuan besar yang menghadang di sepanjang jalur
memaksa kami untuk merangkak dan memanjat untuk menggapai tempat lebih atas.
Kami selinggi perjalanan pendakian ini dengan mendokumentasikan keindahan alam
di sepanjang jalur pendakian kedalam foto.
Dua gapura berwarna
merah yang tersusun dari batu bata sudah berada lima belas meter diatas kami.
Alhamdullilah, kami telah menggapai puncak Songolikur, tidak lupa sujud syukur
atas karunianya bisa mendaki sampai sejauh ini. Bendera merah putih berkibar
bebas tanpa penghalang. Beberapa bangunan petilasan, warung dan tempat
peristirahatan memenuhi puncak yang tempatnya tidak terlalu luas. Puncak
tersebut menyambung dengan puncak lainnya yang berbatu dengan jarak limapuluh
meter. Di puncak berbatu ini di percaya oleh para peritual dan gunung sebagai
tempat moksa dan bersemedi eyang Semar. Saya mengintip salah satu gubuk kecil
yang di buat diantara bebatuan besar tersebut. Tampak dua orang sedang
terlelap, nampaknya mereka adalah para peritual gunung. Menurut penuturan rekan
pendaki bahwa salah satu dari mereka telah berada di puncak Gunung Muria untuk
bersemedi lebih dari enam bulan.
Selepas mengabadikan
moment puncak kami segera mendirikan tenda di samping gubuk seng yang kosong
milik pedagang makanan di Puncak Songolikur. Sebelum gelap kami menyiapkan
makan, beberapa mie instan dan minuman berkalori cukup membantu memulihkan
tenaga. Kami lalui malam dengan tidur di dalam tenda meskipun tidak terlalu
terlelap karena lelah dan dingin udara pegunungan membuat tidur menjadi kurang
nyaman. Beberapa tenda mulai berdiri di sekitar kami. Satu persatu pendaki tiba
di puncak malam ini. Mereka melakukan pendakian di malam hari untuk menghindari
sengatan terik disiang hari. Moment sunrise tidak pernah kami lewatkan ketika
berada di puncak gunung. Kami mempersiapkan diri, bangun di saat cahaya masih
temaram. Tampak puluhan pendaki sudah memenuhi Puncak Songolikur, semua
menghadap ketimur menegadahkan kamera membidik sedikit cahaya jingga yang mulai
menerobos kabut. Pagi ini cuaca cukup cerah.
Kabut yang menyelimuti puluhan perbukitan lambat laun tersingkap. Dingin mulai
mereda selanjutnya cahaya mengirim kehangatan pada tubuh.
Sebelum berkemas turun
sesosok lelaki muda kurus tinggi menghampiri kami. Beliau menyapa dengan
sedikit senyuman mencoba menunjukkan keramahan untuk membangun pertemanan.
Lelaki itu yang kemarin tertidur berada di gubug sebelah petilasan. Kami saling
memperkenalkan diri, selanjutnya berbagi cerita. Beliau telah berada di Puncak
Songolikur lebih dari 6 bulan untuk menemukan jati diri dan bermeditasi. Beberapa
tips dan teknik survival di bagikan kepada kami, mengenali tumbuhan-tumbuhan
hutan yang bisa di konsumsi. Sebelum berpamitan untuk turun kami ucapkan terima
kasih dan memberikan sebagian sisa logistik.
Perjalanan turun kami
lalui dengan cepat, berjalan pelan hampir dua jam kami telah tiba di pos
pendakian awal, sempat istirahat sebentar di Sendang bunton untuk mandi. Keril
kami menjadi lebih berat karena sesak terisi beberapa botol air yang kami ambil
dari sendang bunton. Kami berpamitan dengan rekan pendaki yang telah dengan
sukarela menemani perjalanan dan menunjukkan jalan menuju puncak Songolikur.
Menuju kembali ke kecamatan Gebog kami mencari tumpangan angkutan bak terbuka,
setelah dua kali menumpang kami sampai kembali di kota kecamatan Gebog. Suasana
kota kecamatan Gebog saat itu ramai karena ada kegiatan karnaval menyambut
event perayaaan kemerdekaan Republik Indonesia. Kami segera bergegas menuju
terminal dengan menumpang angkutan umum. Waktu perjalanan kereta masih cukup
lama. Kami beristirahat di terminal sambil menikmati kuliner khas Kudus. Soto
Kerbau ternyata nikmat sekali, sayang kemarin kami tidak sempat menikmati
Lentog Tanjung yang katanya juga enak.
Keesokan harinya,
tanggal 17 Agustus 2015 pukul 06.35 WIB kereta api tepat mengantarkan kami di
Stasiun Kediri. Alhamdullilah, semua berjalan sesuai dengan rencana dalam menjalankan
agenda pendakian. Meskipun semalam tidak cukup lelap tertidur tetapi hari ini
harus lebih bersemangat. Walaupun tidak sempat mandi tetapi masih cukup waktu
untuk memenuhi undangan mengikuti Upacara bendera. Hiduplah Indonesia raya.
Route Perjalanan :
Kereta Api Stasiun
Tawang Semarang – Terminal Terboyo Semarang – Terminal Kudus – Angkutan Umum ke
Kecamatan Gebog – Ojek atau menumpang truck Bak Terbuka ke arah Desa Rahtawu.
Route pendakian :
1.
Pos
pendakian – Sendang Bunton ( 1,5 jam
2.
Sendang
Bunton – Pelawangan ( 1 jam )
3.
Pelawangan
– Puncak 29 ( 45 menit )
Catatan
perjalanan
15-17 agustus 2015
Pendakian Gunung Muria, Rahtawu Gebog
Kudus
SABAWANA MAHACITA INDONESIA Menggapai
Atap-Atap Jawa Tengah 2015-2016.
Arif Widiyatmoko, Pris Kusaini,
Dewantoro