Minggu, 31 Agustus 2014

MENIKMATI RASA LELAH



MENIKMATI  RASA LELAH

Hari sabtu dan minggu jika tidak ada acara event petualangan waktunya menuruti keinginan anak. Peribahasa menuturkan bahwa  Buah jatuh tak jauh dari pohonnya”. Mereka juga menyukai alam bebas, belajar mengenal lingkungan  dengan cara sederhana . Trip favorite adalah mencari ikan di sungai, memancing, memperangkap dengan bubu sederhana yang di buat dari botol minuman dan bermain-main air di parit sawah yang luas di dekat rumah.

Di siang itu sambil mengawasi anak-anakku yang sedang asik bermain. Matahari begitu terik, sinarnya maksimal pancarkan panas ke muka bumi ini tanpa penghalang awan dan angin. Si sulung dengan seriusnya menarik-narik  joran pancing yang mata kailnya sedang tersangkut di akar pohon sementara yang bungsu mengumpulkan dengan cermat remis dan kerang yang menempel di saluran irigasi sambil merendamkan tubuh mungilnya di air  yang mengalir jernih dan tenang itu. Aku duduk di bawah pohon beringin,  satu-satunya pohon besar yang mampu menaungi  tubuh dari sengatan matahari. Beberapa orang juga  sedang berteduh. Ada pencari rumput, buruh tani dan pengembala ternak. Mereka beristirahat dari lelah, setengah hari bergelut dengan pekerjaan. Mereka menikmati lelah raga dengan tidur yang nyenyak, makan yang bersemangat dan menghisap rokok linting dengan nikmat. Sedikit obrolan ringan tentang tanaman padi yang tidak terimbas oleh material vulkanik dari semburan letusan gunung berapi  dua minggu lalu. Tentang sungai kecil di depanku yang sebentar lagi akan penuh dengan material pasir dan batu. Obrolan tentang kesuburan dan keberkahan. Percakapan Optimis dan bersemangat meski kenyataan hidup yang mereka hadapi teramat pahit. Tiada keluh kesah dan fikiran negative tentang apa yang sedang di berikan tuhan kepada mereka. Mereka yang begitu menikmati dan mensyukuri nikmat  lelah bekerja.

Rasa lelah yang diakibadkan dari pertarungan dengan pekerjaan ada dua macam yaitu lelah raga dan lelah jiwa. Para petani, pengembala ternak dan pencari rumput menggunakan sembilan puluh persen tenaga raga untuk bekerja. Sementara di sisi lain ada orang yang menggunakan sembilan puluh persen tenaga jiwa untuk bekerja. Selama manusia masih bernafas, jiwa dan raga merupakan satu kesatuan yang terikat satu dengan lainnya dan keduanya saling mendukung.  Mereka pulihkan energi dari lelah raga dengan menikmati suasana yang teduh sambil berbaring, tidur singkat berkualitas, menikmati makan dan menggugah selera dengan merokok. Beristirahat  singkat tetapi bisa merefresh diri untuk kemudian bekerja lagi.  Hal ini di dukung dengan jiwa yang selalu bersyukur, berfikir positif dan optimis. Bagi mereka yang menggunakan tenaga jiwanya untuk berfikir, mencari solusi, mengambil keputusan, tentu akan mengalami rasa lelah dan akan selalu mencari cara bagaimana bisa menikmati rasa lelah itu. Tanpa di sadari segala keluhan, fikiran negative dan rasa pesimis yang kita lontarkan justru menjadi tambahan beban lelah jiwa.  Itulah yang membuat energy semakin terkuras dan kita cepat bosan dan malas dalam bekerja.

Banyak cara untuk merefresh energy jiwa kita agar cepat pulih. Kalau saya berpendapat ada  dua kesempatan untuk memulihkan lelah jiwa akibad tekanan pekerjaan yaitu dengan  menggunakan kesempatan  yang singkat di sela kesibukan bekerja atau  menggunakan kesempatan yang lama di saat hari libur  dan cuti. Menikmati rasa lelah dengan waktu yang singkat misalnya dengan menulis setengah jam di sela-sela kesibukan bekerja tentang berbagai hal yang membuat kita bergembira, ngobrol berbagai hal dengan rekan di sela makan siang Atau menikmati rasa lelah dengan waktu yang lama di hari libur dengan menyalurkan hobby, mengajak anak-anak bermain atau berpetualang mencari sesuatu yang berbeda.

Dibawah pohon beringin itu kami menikmati rasa lelah dengan menggunakan kesempatan yang berbeda. mereka dengan kesempatan yang singkat dan saya dalam kesempatan yang lama dan cara itulah yang membuat kami bersemangat untuk melanjutkan pertarungan bekerja. Rasa bugar bagi mereka untuk setengah hari kemudian dan rasa segar bagiku untuk melewati hari senin sampai  jumat.  Banyak yang berpendapat bahwa hari senin adalah hari yang paling berat di mana beban volume kerja menumpuk. Tetapi secara umum  bahwa sehari ada  satu jam waktu istirahat, seminggu kita di beri kesempatan  libur  satu sampai dua hari, setahun di berikan hak cuti yang jumlahnya 12 hari. Waktu yang cukup untuk bisa menikmati rasa lelah. Menggunakan waktu yang singkat dengan penuh kualitas untuk menikmati rasa lelah  bukannya menambah jumlah hari  libur ( kwantitas )  yang tidak dimanfaatkan untuk  menikmati rasa lelah.
……………………………………………………………………………………………………………………..
Anak-anakku begitu bergembira menikmati liburnya banyak hal yang di pelajari dari guru alamnya. Si kecil sudah betul menjawab ketika telunjuk menunjuk arah ke gunung di sebelah barat, “ itu gunung wilis “ di sebelah timur “ itu gunung Kawi, Gunung Kelud dan Gunung Anjasmoro.” Tetapi aku tidak bisa menjawab dengan benar ketika anakku bertanya. “ Ayah, kapan aku di ajak mendaki gunung ??  Ya, Nanti kalau sudah kuat gendong tas ransel dan kakinya dah cukup untuk memakai sepatu ayah!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!

MEREKA YANG MERDEKA HIDUP DALAM AKSES YANG TERBATAS



MEREKA YANG MERDEKA HIDUP DALAM  AKSES YANG TERBATAS



Sajian realita kehidupan yang sesungguhnya tergambarkan saat  menelusuri pelosok-pelosok kehidupan masyarakat pedesaan. Orang-orang yang menggunakan hati  dalam bersikap dan bertindak di dalam lingkungannya. Berada di lembah dan perbukitan mereka mengajarkan kepada kita bagaimana berdamai dengan keadaan. Kita yang berada di tempat  nyaman dan memiliki surplus akses yang jauh lebih baik dari mereka begitu sulit ketika di hadapkan pada perubahan keadaan. Sekejap listrik mati, ac rusak, motor mogok, dan berbagai masalah sepele lainnya, umpatan dan keluh kesah begitu mudah meluncur dari mulut kita. Mereka yang menyajikan nasi tiwul dan singkong rebus begitu bahagia menikmati kesederhanaan. Menyikapi masalah dengan senyuman.

Saya menyebut mereka pelatih bertahan hidup dengan sumberdaya yang terbatas. Mengajarkan cara bersyukur dengan perbuatan tidak dengan perkataan. Saat air sulit di cari, betapa bersyukurnya mereka ketika hujan datang. Menampung air hujan di bak tampung yang di salurkan dari  pipa-pipa yang pasang di ujungi genting rumah mereka. Segelas air mineral yang tak akan pernah sia-sia ketika kita suguhkan kepada mereka. Seringkali kita di ajarkan dengan perkataan yang begitu apik dalam sesi seminar-seminar mahal tentang bersyukur, tetapi perbuatan kita tanpa di sadari jauh dari makna bersyukur. Hidangan makanan dan  air mineral yang  tersisa di gelas terbuang sia-sia di bak sampah. Betapa mereka begitu menghargai makanan pemberian tuhan yang di tumbuhkan dari ladang dan kebunnya. Disajikan  dalam nampan besar buah, biji-bijian  dan ubi untuk di santap bersama dan tiada yang tersisa habis sempurna. Mengalir menjadi energy yang setiap pagi di salurkan di medan juangnya

Pelajaran berharga tentang mengabdi pada profesi.  Petani yang terlatih sejak dini,  Di masa kanak-kanak  sudah belajar mandiri mencarikan rumput untuk hewan ternak ( asset yang menjadi kebanggaan keluarga petani ). dikebun dan ladang belajar menanam wortel, kubis dan sayur-sayuran. Menikmati cuaca dingin dan panas. Berlindung dengan selembar sarung multi fungsi yang di ikat pada perutnya. Melewati hari, minggu, bulan dan tahun untuk satu pengabdian menjadi seorang petani. Dari peluh mereka kita bisa menikmati segarnya sayuran dan buah-buahan. Mereka yang berani dan rela hidup dan mati  diantara lembah dan perbukitan yang damai.

Sekolah adalah suatu hal yang  berat bagi anak-anak mereka. Pernah suatu ketika di pagi buta kira-kira jam 4 pagi sehabis melakukan pendakian gunung. Menunggu truck perkebunan yang hanya setiap pagi turun dan kembali di sore hari . Menempuh medan yang curam, jalan berkelak-kelok, berbatu dan rusak. Pagi Itu di bak truck terbuka berjejal anak-anak usia SMP dan SMA , berangkat  sekolah di mana sekolahnya hanya ada di kecamatan bahkan di kota terdekat yang  jaraknya 15 -25 KM. Tidak setiap hari mereka bisa pulang. Menjadi anak Kos dengan bahan makanan yang di bawa dari rumah. Dua minggu sampai sebulan sekali mereka bisa pulang dan berkumpul dengan keluarga  di rumah sederhana  yang terselip di hamparan perbukitan. Biaya sekolah dan hidup adalah persoalan yang berat bagi mereka  tetapi  pagi itu tiada kesedihan. Masih ada senyuman, gelak tawa dan canda ria yang memecah keheningan.  Begitu tersentuh ketika perjuangan anak-anak negeri ini untuk bisa bersekolah di visualisasikan secara baik  dalam beberapa film salah satu yang fenomenal  film Laskar Pelangi dan sekolah rimba.

Menikmati keterbatasan, mereka hidup selaras dengan alam dengan menjaga tradisi dan budaya. Merawat alam dengan kearifan local melalui cerita-cerita mistis, pamali dan legenda. Pada gunung-gunung yang berbeda mereka ciptakan dongeng dan cerita yang di ajarkan para leluhurnya. Melakukan ritual dari apa yang di yakini. Dari bermacam-macam cara yang di lakukan ada benang merah yang sama yaitu ungkapan, tindakan dan visualisasi dari rasa syukur atas anugerah Tuhan. Rasa syukur atas  kesuburan tanah, segarnya udara, kejernihan air, hasil hutan, dan hewan piaraan yang sehat. Limpahan sumber makanan ditumbuhkan dan di besarkan dari gunung dan perbukitan. Kehidupan yang tenteram. Dari ladang dan kandang kebutuhan logistic terpenuhi. Di area dengan sinyal telephon terbatas, akses terbatas, sarana dan prasarana  terbatas Mereka menikmati kemerdekaan hidup di Indonesia Raya.

Jumat, 15 Agustus 2014

BERLATIH



BERLATIH

Sensasi awal mendaki gunung di atas ketinggian 3000 Mdpl sungguh menyiutkan nyali. Pendakian gunung yang menawarkan ketakutan. Penyakit ketinggian ( Mountain sickness ) menyambut tak ramah tubuh ini, kepala terasa pening, perut mual,  diare parah, mata berkunang-kunang, semua yang ada di perut di muntahkan. Orkestra alam melengkapi derita ini dalam alunan badai, gemuruh angin dan deritan pohon. Permulaan yang berat dan ujian yang dasyat di tengah semangat yang mengelora untuk meletupkan adrenalin menggapai puncak tertinggi. Memulai sesuatu tidaklah mudah. Fikiran negative, bayang ketakutan dan segala sesuatu yang buruk memenuhi ruang angan. Banyak orang berpendapat langkah pertama adalah kunci kesuksesan asalkan tidak menyerah di langkah selanjutnya.
Pendakian kedua, ketiga, keempat dan seterusnya terasa mudah dengan segala suasana berbeda yang pernah di hadapi. Melangkah pelan, berlari, merangkak dan memanjat dalam berbagai etafe yang di lalui. Melewati satu persatu, menapaki bukit dan gunung. Berada di ketinggian  1000 Mdpl, 2000 Mdpl dan  di atas 3000 Mdpl. Dari awal yang berat, di lalui dihadapi dan menjadi kebiasan. Untuk bisa harus berlatih. Semakin banyak berlatih, meningkatkan porsi latihan, menambah kapasitas latihan membuat kita semakin teruji. Saya pernah menanyakan kepada seorang rekan di usia 40 tahun ke atas memiliki fisik  yang prima ketika berjalan atau berlari. Berbagai ajang lintas alam seringkali di menangi. Kunci keberhasilannya adalah sering berlatih, setiap sore menempuh rute lintasan minimal 5- 10 KM. dengan variasi medan yang berbeda.
Rutinitas awal bekerja di pagi hari di isi dengan tausyiah dan motivasi. Pada satu kesempatan di tunjuk salah satu staff untuk mengisi tausyiah dan motivasi tersebut. Rasa gugup, gemetar dan takut menyelimuti dirinya sehingga tak ada satupun kalimat terucap. Di sisi lain ada salah satu staff yang dengan sukarela menggantikannya karena sudah terbiasa mengganti ketika tidak ada yang berani mengisi tausyiah dan motivasi tersebut. Kesempatan untuk bisa berlatih selalu di manfaatkan. Mungkin di awal ketika memulai berbicara di hadapan teman akan terasa berat dan sulit tetapi ketika itu bisa di asah dan dilatih dalam setiap kesempatan akan menjadi mudah di lakukan. Saya melihat keduanya mampu dari sisi teori dan pengetahuan tetapi yang membedakan adalah yang satu tidak terlatih yang kedua sudah terlatih. Maka ketika di uji dalam satu kesempatan untuk mengisi dalam tausiyah dan motivasi maka hasilnya  akan berbeda.
Dunia pekerjaan menawarkan hal yang sama. Pemenang  kompetisi dalam bekerja adalah mereka yang menjadikan setiap tantangan pekerjaan sebagai ajang latihan. Menambah porsi latihan dari yang mudah terus meningkat ke hal yang sulit. Memecahkan persoalan yang sederhana sampai tingkat kerumitan yang tinggi. Mereka yang dengan kompetensi, rintisan karir, jabatan  yang sama dalam jangka waktu 3 sampai 5 tahun ke depan akan menghasilkan output yang berbeda. Terkadang begitu jauh ketimpangan itu terjadi. Mereka yang sukses cenderung melahap porsi latihan yang berat, di siplin yang tinggi. Mencari tantangan dan memecahkan banyak persoalan. Hasil yang baik tentu di awali kerja  keras, disiplin dan banyak berlatih. Memadukan antara bekerja dan berlatih tidak mudah. Membutuhkan motivasi  tinggi dan semangat ingin berkembang kearah yang lebih baik.
Perang sesungguhnya mungkin hanya satu persen di lakukan tetapi itu akan memberi nilai yang besar terhadap kemenangan atau kekalahan. Jika 99 % diisi dengan latihan yang keras maka 1 % dari perang itu akan di menangkan.  Banyak profesi yang sebagian besar  pekerjaannya hanya berlatih-berlatih dan berlatih. Profesi yang menjadikan seorang individu menjadi professional dan saat di hadapkan pada kondisi realita begitu mudah tantangan itu di taklukkan.
Bakat sering menjadi kambing hitam yang membedakan kenapa mereka mampu dan kita tidak bisa. Padahal dengan porsi latihan yang lebih, semua batas itu bisa di hilangkan. Semua yang di awal berat jika di biasakan akan menjadi mudah. Kerjakan sesuatu yang berbobot dan berat kemudian menjadi kebiasaan sehingga suatu pekerjaan yang mudah tak akan terasa.  Begitu juga sebaliknya, ketika tidak berani melakukan pekerjaan yang berbobot dan berat suatu saat harus di hadapkan untuk menyelesaikan pekerjaan  maka dengan mudahnya kita mengeluh. Hufff.
Sore itu di ketinggian 1500 Mdpl pada punggungan Gunung Penanggungan yang di penuhi rerumputan, angin menderu dan kabut mulai merayap. Kami berlima mulai cemas, degup jantung berdebar. Hati kami mulai goyah, sebagian ingin tetap melanjutkan mendaki sebagaian ingin segera turun. Kamipun memilih segera turun sementara ada rasa kecewa bagi yang ingin meneruskan langkah menggapai puncak.  Dua tahun setelah kejadian tersebut baru saya sadari bahwa 100 Meter keatas dari tempat kami memutuskan untuk turun,  Puncak Penanggungan tengah menanti kehadiran kami. Deru angin, kabut yang merayap dan menghalangi pandangan mata adalah cuaca lumrah di pegunungan. ( catatan perjalanan dari pendakian gunung Penanggungan tahun 2002 ) Dua tahun itu kami berlatih dengan suasana yang berbeda, mendaki saat cuaca ekstrim, menempuh ketinggian di atas 3000 Mdpl. Mencari tantangan, memperkaya pengalaman dan dari situlah kami terbiasa. Belajar dari tragedy di Altitude 1500 Mdpl, belajar dari Mountain Sicknes di Altitude 3000 Mdpl dan kami yang terus berlatih.



Selasa, 05 Agustus 2014

BADAI PASTI BERLALU



BADAI PASTI BERLALU.

Mendaki gunung dalam cuaca ekstrem seperti saat ini sungguh luar biasa. Suatu perjalanan yang menawarkan banyak rintangan dan hambatan. Dua hari yang menguras tenaga dan memacu adrenalin. Mendaki gunung merbabu ( 3142 Mdpl ) dalam amukan badai. Lebat hujan, kabut  pekat menyergap,  angin kencang menderu,  melangkah di sisi jurang, 20 meter mendaki 2 menit istirahat dengan memanggul satu tas carier berisi  alat dan logistic yang beratnya 10 Kg. 
Resiko untuk di kelola bukan di hindari. Bukan nekat tetapi penuh perhitungan. Berlatih efektif, efisien dan tidak menunda waktu. Semua telah di kalkulasi terkait keamanan. Mencapai titik terdekat dengan puncak, menunggu moment yang tepat untuk menggapai tempat tertinggi ( Summit Attack ). Semangat dan keberanian saja tidaklah cukup. Terkadang kita harus mencari kesempatan. Berhenti bukan untuk kalah tetapi mencari strategi. Malampun di lalui dengan mencekam terpojok dalam ceruk tebing diantara batu besar dan jurang. Tenda yang menderit meliuk dan menari dalam alunan konser badai. Baju basah terganti dengan pakaian kering, jaket yang berlapis-lapis, dan menyelusup di dalam kantong tidur (sleping bag ). Benteng  tangguh untuk melindungi  ancaman hipotermia. Musuh utama pecandu ketinggian.
Badai pasti berlalu, gelap akan menjadi terang, dingin akan berganti panas dan itu harus selalu di kobarkan dalam angan dan harapan. Tetap selalu yakin akan adanya perubahan. Pagipun menghapus luka semalam. Menawarkan sejuta keindahan seiring surya yang mengintip di singasana fajar. Satu kesempatan yang di berikan Tuhan di pagi ini jangan di sia-siakan. Puncak syarif ketinggian ( altitude ) 3119 Mdpl tinggal 1,6 KM menunggu  dalam tahta abadi di sana.  Pelan-pelan saja asalkan konsisten. Mengukur kemampuan dan mengawalinya lebih dini, pasti akan sampai di tempat tujuan. Saat semua masil larut dalam suasana mencekam tadi malam dan sebagian takjub akan keindahan pagi ini. Kamipun mengemas ( package ) peralatan dan logistic dan segera menapakkan kaki mengapai ketinggian.
Mental yang kuat bersinergi dengan spiritual adalah benteng tangguh menghadapi tekanan keadaan. Selalu yakin dan optimis bahwa badai ini akan segera berakhir. Setiap luka akan mengering dan sembuh. Menyerah adalah kabut tipis yang memisahkan ruang sukses dan gagal. Disaat satu langkah lagi semua harapan tercapai di situlah semua beban mendorong kita untuk mengucapkan “aku tak sanggup dan tak mampu lagi”. Menyerah lalu selesai sudah. Keraguan dan bayang fikiran negative membelenggu energi kita untuk bergerak. Kesempatan tidak akan datang untuk ke dua kali. Tidak ada waktu yang mundur dan kita tak pernah hidup kembali di masa silam. Konsisten dan pasti. Melakukan detik  ini atau tidak sama sekali.
Langkah mendaki terakhir dan puncakpun tercapai. Puncak Gunung tempat untuk menundukkan keangkuhan, Merasakan kehadiranNya lewat sujud syukur yang sahdu. Bumi tempat berpijak serasa berguncang, angin yang bergemurun dasyat . Mendaki gunung adalah Prototipe pilihan terbaik dalam menjalani hidup ini. pada dasarnya hidup kita mendaki berjuang sampai di puncak dan kemudian turun kembali. Diantara tingkatan terbaik dari tujuan mendaki gunung adalah “Untuk mengasah pribadi dan menemukan hakekat diri”. Orang-orang yang memiliki tujuan seperti inilah orang yang mampu berguru pada alam. Mereka mendaki gunung untuk menyendiri dan merenung guna mendapatkan kedamaian dan pencerahan dari Tuhan dengan mengakrabi alam. Karena dengan begitu mereka akan tahu bahwa dirinya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan alam apalagi Tuhan. Tujuan mendaki gunung seperti ini tidak hanya bisa dilakukan oleh para pertapa saja, yang biasanya mendaki gunung dan tinggal disana dalam waktu yang cukup lama sampai mendapat ilmu. Namun, sebenarnya para pendaki gunung biasa juga bisa memiliki tujuan seperti ini, kebanyakan para pendaki yang sudah cukup berpengalaman biasanya mendaki gunung untuk tujuan seperti ini. Mereka mendaki gunung bukan lagi untuk hobi atau mengejar prestise, tetapi mereka mendaki karena “panggilan jiwa” yang harus terus dipenuhi. Mereka seolah tak bisa hidup jauh dari gunung. Meskipun telah lama tidak mendaki gunung, namun keinginan untuk mendaki itu pasti akan tetap ada karena sudah menjadi kebutuhan. Mereka meyakini bahwa ada banyak pelajaran yang bisa diperoleh dari mendaki gunung. Dengan mengakrabi alam, maka dengan sendirinya alam akan mengajarkan banyak ilmu kepada kita.( I.E.S Dharma, Filosofi Mendaki Gunung, 2008 )

Merasakan kegembiraan di setiap suka dan duka hidup ini. Merayakan setiap kenyataan hidup  apapun yang kita rasakan. Satu kalimat  terkenang dalam Plakat kokoh yang berdiri di Geger Sapi Gunung Merbabu. “ Kadang kita harus meninggalkan pesta meski pesta itu belum usai “. In Memoriam RUSTAM M PAPINKA ( W221TJ ) Taluga 24 Februari 1987 Ekspedisi Ndugu-Ndugu Irian Jaya ( 1987 ) Wapeala Undip

PILIH JALANMU SENDIRI UNTUK MENGGAPAI PUNCAK GUNUNG TELOMOYO

Banyak alternatif sarana untuk melakukan perjalanan. Mungkin kamu mempercayakan pada kedua roda motormu, Kokohnya empat roda mo...