Jumat, 15 Agustus 2014

BERLATIH



BERLATIH

Sensasi awal mendaki gunung di atas ketinggian 3000 Mdpl sungguh menyiutkan nyali. Pendakian gunung yang menawarkan ketakutan. Penyakit ketinggian ( Mountain sickness ) menyambut tak ramah tubuh ini, kepala terasa pening, perut mual,  diare parah, mata berkunang-kunang, semua yang ada di perut di muntahkan. Orkestra alam melengkapi derita ini dalam alunan badai, gemuruh angin dan deritan pohon. Permulaan yang berat dan ujian yang dasyat di tengah semangat yang mengelora untuk meletupkan adrenalin menggapai puncak tertinggi. Memulai sesuatu tidaklah mudah. Fikiran negative, bayang ketakutan dan segala sesuatu yang buruk memenuhi ruang angan. Banyak orang berpendapat langkah pertama adalah kunci kesuksesan asalkan tidak menyerah di langkah selanjutnya.
Pendakian kedua, ketiga, keempat dan seterusnya terasa mudah dengan segala suasana berbeda yang pernah di hadapi. Melangkah pelan, berlari, merangkak dan memanjat dalam berbagai etafe yang di lalui. Melewati satu persatu, menapaki bukit dan gunung. Berada di ketinggian  1000 Mdpl, 2000 Mdpl dan  di atas 3000 Mdpl. Dari awal yang berat, di lalui dihadapi dan menjadi kebiasan. Untuk bisa harus berlatih. Semakin banyak berlatih, meningkatkan porsi latihan, menambah kapasitas latihan membuat kita semakin teruji. Saya pernah menanyakan kepada seorang rekan di usia 40 tahun ke atas memiliki fisik  yang prima ketika berjalan atau berlari. Berbagai ajang lintas alam seringkali di menangi. Kunci keberhasilannya adalah sering berlatih, setiap sore menempuh rute lintasan minimal 5- 10 KM. dengan variasi medan yang berbeda.
Rutinitas awal bekerja di pagi hari di isi dengan tausyiah dan motivasi. Pada satu kesempatan di tunjuk salah satu staff untuk mengisi tausyiah dan motivasi tersebut. Rasa gugup, gemetar dan takut menyelimuti dirinya sehingga tak ada satupun kalimat terucap. Di sisi lain ada salah satu staff yang dengan sukarela menggantikannya karena sudah terbiasa mengganti ketika tidak ada yang berani mengisi tausyiah dan motivasi tersebut. Kesempatan untuk bisa berlatih selalu di manfaatkan. Mungkin di awal ketika memulai berbicara di hadapan teman akan terasa berat dan sulit tetapi ketika itu bisa di asah dan dilatih dalam setiap kesempatan akan menjadi mudah di lakukan. Saya melihat keduanya mampu dari sisi teori dan pengetahuan tetapi yang membedakan adalah yang satu tidak terlatih yang kedua sudah terlatih. Maka ketika di uji dalam satu kesempatan untuk mengisi dalam tausiyah dan motivasi maka hasilnya  akan berbeda.
Dunia pekerjaan menawarkan hal yang sama. Pemenang  kompetisi dalam bekerja adalah mereka yang menjadikan setiap tantangan pekerjaan sebagai ajang latihan. Menambah porsi latihan dari yang mudah terus meningkat ke hal yang sulit. Memecahkan persoalan yang sederhana sampai tingkat kerumitan yang tinggi. Mereka yang dengan kompetensi, rintisan karir, jabatan  yang sama dalam jangka waktu 3 sampai 5 tahun ke depan akan menghasilkan output yang berbeda. Terkadang begitu jauh ketimpangan itu terjadi. Mereka yang sukses cenderung melahap porsi latihan yang berat, di siplin yang tinggi. Mencari tantangan dan memecahkan banyak persoalan. Hasil yang baik tentu di awali kerja  keras, disiplin dan banyak berlatih. Memadukan antara bekerja dan berlatih tidak mudah. Membutuhkan motivasi  tinggi dan semangat ingin berkembang kearah yang lebih baik.
Perang sesungguhnya mungkin hanya satu persen di lakukan tetapi itu akan memberi nilai yang besar terhadap kemenangan atau kekalahan. Jika 99 % diisi dengan latihan yang keras maka 1 % dari perang itu akan di menangkan.  Banyak profesi yang sebagian besar  pekerjaannya hanya berlatih-berlatih dan berlatih. Profesi yang menjadikan seorang individu menjadi professional dan saat di hadapkan pada kondisi realita begitu mudah tantangan itu di taklukkan.
Bakat sering menjadi kambing hitam yang membedakan kenapa mereka mampu dan kita tidak bisa. Padahal dengan porsi latihan yang lebih, semua batas itu bisa di hilangkan. Semua yang di awal berat jika di biasakan akan menjadi mudah. Kerjakan sesuatu yang berbobot dan berat kemudian menjadi kebiasaan sehingga suatu pekerjaan yang mudah tak akan terasa.  Begitu juga sebaliknya, ketika tidak berani melakukan pekerjaan yang berbobot dan berat suatu saat harus di hadapkan untuk menyelesaikan pekerjaan  maka dengan mudahnya kita mengeluh. Hufff.
Sore itu di ketinggian 1500 Mdpl pada punggungan Gunung Penanggungan yang di penuhi rerumputan, angin menderu dan kabut mulai merayap. Kami berlima mulai cemas, degup jantung berdebar. Hati kami mulai goyah, sebagian ingin tetap melanjutkan mendaki sebagaian ingin segera turun. Kamipun memilih segera turun sementara ada rasa kecewa bagi yang ingin meneruskan langkah menggapai puncak.  Dua tahun setelah kejadian tersebut baru saya sadari bahwa 100 Meter keatas dari tempat kami memutuskan untuk turun,  Puncak Penanggungan tengah menanti kehadiran kami. Deru angin, kabut yang merayap dan menghalangi pandangan mata adalah cuaca lumrah di pegunungan. ( catatan perjalanan dari pendakian gunung Penanggungan tahun 2002 ) Dua tahun itu kami berlatih dengan suasana yang berbeda, mendaki saat cuaca ekstrim, menempuh ketinggian di atas 3000 Mdpl. Mencari tantangan, memperkaya pengalaman dan dari situlah kami terbiasa. Belajar dari tragedy di Altitude 1500 Mdpl, belajar dari Mountain Sicknes di Altitude 3000 Mdpl dan kami yang terus berlatih.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PILIH JALANMU SENDIRI UNTUK MENGGAPAI PUNCAK GUNUNG TELOMOYO

Banyak alternatif sarana untuk melakukan perjalanan. Mungkin kamu mempercayakan pada kedua roda motormu, Kokohnya empat roda mo...