BERLATIH
Sensasi awal mendaki gunung di
atas ketinggian 3000 Mdpl sungguh menyiutkan nyali. Pendakian gunung yang
menawarkan ketakutan. Penyakit ketinggian ( Mountain
sickness ) menyambut tak ramah tubuh ini, kepala terasa pening, perut mual, diare parah, mata berkunang-kunang, semua
yang ada di perut di muntahkan. Orkestra alam melengkapi derita ini dalam
alunan badai, gemuruh angin dan deritan pohon. Permulaan yang berat dan ujian
yang dasyat di tengah semangat yang mengelora untuk meletupkan adrenalin menggapai
puncak tertinggi. Memulai sesuatu tidaklah mudah. Fikiran negative, bayang
ketakutan dan segala sesuatu yang buruk memenuhi ruang angan. Banyak orang
berpendapat langkah pertama adalah kunci kesuksesan asalkan tidak menyerah di
langkah selanjutnya.
Pendakian kedua, ketiga, keempat
dan seterusnya terasa mudah dengan segala suasana berbeda yang pernah di
hadapi. Melangkah pelan, berlari, merangkak dan memanjat dalam berbagai etafe
yang di lalui. Melewati satu persatu, menapaki bukit dan gunung. Berada di
ketinggian 1000 Mdpl, 2000 Mdpl dan di atas 3000 Mdpl. Dari awal yang berat, di
lalui dihadapi dan menjadi kebiasan. Untuk bisa harus berlatih. Semakin banyak
berlatih, meningkatkan porsi latihan, menambah kapasitas latihan membuat kita
semakin teruji. Saya pernah menanyakan kepada seorang rekan di usia 40 tahun ke
atas memiliki fisik yang prima ketika
berjalan atau berlari. Berbagai ajang lintas alam seringkali di menangi. Kunci keberhasilannya
adalah sering berlatih, setiap sore menempuh rute lintasan minimal 5- 10 KM.
dengan variasi medan yang berbeda.
Rutinitas awal bekerja di pagi
hari di isi dengan tausyiah dan motivasi. Pada satu kesempatan di tunjuk salah
satu staff untuk mengisi tausyiah dan motivasi tersebut. Rasa gugup, gemetar
dan takut menyelimuti dirinya sehingga tak ada satupun kalimat terucap. Di sisi
lain ada salah satu staff yang dengan sukarela menggantikannya karena sudah terbiasa
mengganti ketika tidak ada yang berani mengisi tausyiah dan motivasi tersebut.
Kesempatan untuk bisa berlatih selalu di manfaatkan. Mungkin di awal ketika
memulai berbicara di hadapan teman akan terasa berat dan sulit tetapi ketika
itu bisa di asah dan dilatih dalam setiap kesempatan akan menjadi mudah di
lakukan. Saya melihat keduanya mampu dari sisi teori dan pengetahuan tetapi
yang membedakan adalah yang satu tidak terlatih yang kedua sudah terlatih. Maka
ketika di uji dalam satu kesempatan untuk mengisi dalam tausiyah dan motivasi maka
hasilnya akan berbeda.
Dunia pekerjaan menawarkan hal
yang sama. Pemenang kompetisi dalam
bekerja adalah mereka yang menjadikan setiap tantangan pekerjaan sebagai ajang latihan.
Menambah porsi latihan dari yang mudah terus meningkat ke hal yang sulit.
Memecahkan persoalan yang sederhana sampai tingkat kerumitan yang tinggi. Mereka
yang dengan kompetensi, rintisan karir, jabatan yang sama dalam jangka waktu 3 sampai 5 tahun
ke depan akan menghasilkan output yang berbeda. Terkadang begitu jauh
ketimpangan itu terjadi. Mereka yang sukses cenderung melahap porsi latihan yang
berat, di siplin yang tinggi. Mencari tantangan dan memecahkan banyak
persoalan. Hasil yang baik tentu di awali kerja keras, disiplin dan banyak berlatih. Memadukan
antara bekerja dan berlatih tidak mudah. Membutuhkan motivasi tinggi dan semangat ingin berkembang kearah
yang lebih baik.
Perang sesungguhnya mungkin hanya
satu persen di lakukan tetapi itu akan memberi nilai yang besar terhadap kemenangan
atau kekalahan. Jika 99 % diisi dengan latihan yang keras maka 1 % dari perang
itu akan di menangkan. Banyak profesi
yang sebagian besar pekerjaannya hanya
berlatih-berlatih dan berlatih. Profesi yang menjadikan seorang individu menjadi
professional dan saat di hadapkan pada kondisi realita begitu mudah tantangan
itu di taklukkan.
Bakat sering menjadi kambing
hitam yang membedakan kenapa mereka mampu dan kita tidak bisa. Padahal dengan
porsi latihan yang lebih, semua batas itu bisa di hilangkan. Semua yang di awal
berat jika di biasakan akan menjadi mudah. Kerjakan sesuatu yang berbobot dan
berat kemudian menjadi kebiasaan sehingga suatu pekerjaan yang mudah tak akan
terasa. Begitu juga sebaliknya, ketika
tidak berani melakukan pekerjaan yang berbobot dan berat suatu saat harus di hadapkan
untuk menyelesaikan pekerjaan maka
dengan mudahnya kita mengeluh. Hufff.
Sore itu di ketinggian 1500 Mdpl
pada punggungan Gunung Penanggungan yang di penuhi rerumputan, angin menderu
dan kabut mulai merayap. Kami berlima mulai cemas, degup jantung berdebar. Hati
kami mulai goyah, sebagian ingin tetap melanjutkan mendaki sebagaian ingin segera
turun. Kamipun memilih segera turun sementara ada rasa kecewa bagi yang ingin meneruskan
langkah menggapai puncak. Dua tahun
setelah kejadian tersebut baru saya sadari bahwa 100 Meter keatas dari tempat
kami memutuskan untuk turun, Puncak
Penanggungan tengah menanti kehadiran kami. Deru angin, kabut yang merayap dan menghalangi
pandangan mata adalah cuaca lumrah di pegunungan. ( catatan perjalanan dari pendakian gunung Penanggungan tahun 2002 ) Dua
tahun itu kami berlatih dengan suasana yang berbeda, mendaki saat cuaca
ekstrim, menempuh ketinggian di atas 3000 Mdpl. Mencari tantangan, memperkaya
pengalaman dan dari situlah kami terbiasa. Belajar dari tragedy di Altitude 1500 Mdpl, belajar dari Mountain Sicknes di Altitude 3000 Mdpl dan kami yang terus berlatih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar