MENGGAPAI
KEDUDUKAN DAN MENAPAKI KETINGGIAN
Klimaks kenikmatan
ketika berada di puncak gunung adalah saat bisa menikmati luasnya dunia ini dan
memahami bahwasanya kita seperti sebutir pasir di gurun atau setetes air di lautan. Begitu stabil dunia dan alam semesta ini di
ciptakan menumbuhkan perasaan takjub akan kekuasaan pencipta alam ini. Atau dengan mendaki gunung, paling tidak kita akan mampu mengetahui
bahwa kita hanyalah seperti seekor semut yang merayap lamban di tengah luasnya
hutan. Kita hanya mahluk biasa yang tak berdaya jika berada di alam bebas,
tidur di tanah, minum air mentah, berlindung dari dinginnya udara, tak berdaya
di tengah kabut atau tak berkutik jika tersesat dan kehabisan bekal. Itulah
kita, manusia yang sebenarnya, tak berdaya di tengah alam, apalagi untuk
melawannya. Lalu apalagi yang kita sombongkan, melawan alam saja tidak berdaya
apalagi melawan kekuasaan sang pencipta alam. (I.E.S Dharma, Filosofi
Mendaki Gunung, 2008 ). Alam
telah menunjukkan bahwa saat kita berada di ketinggian, melihat ke bawah atau memandang jauh kedepan
semakin banyak yang kita lihat dan semakin kecil diri kita di dunia ini. pada
ketinggian kenikmatan tidak hanya hadir dalam suasana sunyi, sepi dan tenang.
Tetapi kenikmatan juga bisa hadir dalam deru angin, lebat hujan dan badai petir. Belajar
dari guru alam, belajar menjadi diri sendiri.
Seperti halnya dalam
menapaki ketinggian kita bisa belajar saat dihadapkan harus menggapai
kedudukan. Ketinggian dan kedudukan sama-sama memabukkan, saat pada ketinggian
kita mengenal penyakit gunung dengan
gejala kepala pusing dan muntah ( Mountain
Sickness ) di sebabkan kurang beradaptasi dengan ketinggian. Begitu pula menikmati
kedudukan bisa memabukkan ( mabuk
kekuasaan ). Menggapai kedudukan dan menapaki ketinggian tidak bisa di
capai dengan mudah dan instan, Membutuhkan proses mendaki setapak demi setapak,
membutuhkan banyak pengorbanan, kesempatan, kerja keras, dan dukungan orang
lain. Ketinggian dan kedudukan bukan hanya tempat menyenangkan disitu pula merupakan
tempat paling kejam. Banyak jurang dan lembah-lembah dalam yang jika tidak
berhati-hati begitu mudahnya terperosok. Gudangnya badai, tempat terdingin, dan
minim oksigen. Dari semua kesempatan yang kita dapatkan jika harus menikmati ketinggian
dan kedudukan bahwasannya kita di berikan waktu untuk melihat ke bawah, melihat
jauh ke depan dan mencoba mendekat dengan yang di atas. Kesempatan untuk
merenungi bahwa jagad raya ini begitu luasnya sementara kita begitu kecilnya.
Kesempatan untuk berbuat lebih banyak karena saat berada di ketinggian dan
kedudukan waktu kita hanya sebentar dan pada saatnya pasti akan turun gunung
atau turun tahta juga. Merujuk pada tujuan mendaki gunung adalah puncak bukan
tujuan utama yang paling utama adalah mendaki ke puncak dan turun dengan
selamat.
Sungguh sangat ironis
seperti berita- berita yang kita lihat dan baca dalam media elektronik dan
media massa orang-orang yang gagal saat di beri kesempatan harus menggapai
kedudukan. Sedikit renungan dari kegelisahan seorang petualang bernama Rifqy Faiza
Rahman mahasiswa pertanian Universitas Brawijaya dan pendiri komunitas
traveling Gamananta yang menulis dalam kolom Gagasan Jawa Pos Tgl 08-10-2013 yang berjudul Ajak
Pejabat Naik Gunung alinea ke 2, Mari
kita lihat beberapa pejabat di negeri ini yang kelakuannya penuh tanda Tanya.
Senyum mengembang dan acungan jempol kala di gelandang KPK ke mobil tahanan
menunjukkan rasa tak tahu malu. Saya sempat berfikiran ingin mengajak mereka
naik gunung yang indah di negeri ini seperti Semeru atau rinjani. Mengajak
mereka belajar menjadi diri mereka sendiri, belajar dari guru alam. Saya
sendiri melihat banyak pejabat kita yang hebat juga memiliki hobi di alam bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar