Jumat, 01 Agustus 2014

MENGGAPAI KEDUDUKAN DAN MENAPAKI KETINGGIAN



MENGGAPAI KEDUDUKAN DAN MENAPAKI KETINGGIAN

Klimaks kenikmatan ketika berada di puncak gunung adalah saat bisa menikmati luasnya dunia ini dan memahami bahwasanya kita seperti sebutir pasir di gurun  atau setetes air di lautan.  Begitu stabil dunia dan alam semesta ini di ciptakan menumbuhkan perasaan takjub akan kekuasaan pencipta alam ini. Atau dengan mendaki gunung, paling tidak kita akan mampu mengetahui bahwa kita hanyalah seperti seekor semut yang merayap lamban di tengah luasnya hutan. Kita hanya mahluk biasa yang tak berdaya jika berada di alam bebas, tidur di tanah, minum air mentah, berlindung dari dinginnya udara, tak berdaya di tengah kabut atau tak berkutik jika tersesat dan kehabisan bekal. Itulah kita, manusia yang sebenarnya, tak berdaya di tengah alam, apalagi untuk melawannya. Lalu apalagi yang kita sombongkan, melawan alam saja tidak berdaya apalagi melawan kekuasaan sang pencipta alam. (I.E.S Dharma, Filosofi Mendaki Gunung, 2008 ). Alam telah menunjukkan bahwa saat kita berada di ketinggian,  melihat ke bawah atau memandang jauh kedepan semakin banyak yang kita lihat dan semakin kecil diri kita di dunia ini. pada ketinggian kenikmatan tidak hanya hadir dalam suasana sunyi, sepi dan tenang. Tetapi kenikmatan juga bisa hadir dalam  deru angin, lebat hujan dan badai petir. Belajar dari guru alam, belajar menjadi diri sendiri.
Seperti halnya dalam menapaki ketinggian kita bisa belajar saat dihadapkan harus menggapai kedudukan. Ketinggian dan kedudukan sama-sama memabukkan, saat pada ketinggian kita mengenal  penyakit gunung dengan gejala kepala pusing dan muntah ( Mountain Sickness ) di sebabkan kurang beradaptasi dengan ketinggian. Begitu pula menikmati kedudukan bisa memabukkan ( mabuk kekuasaan ). Menggapai kedudukan dan menapaki ketinggian tidak bisa di capai dengan mudah dan instan, Membutuhkan proses mendaki setapak demi setapak, membutuhkan banyak pengorbanan, kesempatan, kerja keras, dan dukungan orang lain. Ketinggian dan kedudukan bukan hanya tempat menyenangkan disitu pula merupakan tempat paling kejam. Banyak jurang dan lembah-lembah dalam yang jika tidak berhati-hati begitu mudahnya terperosok. Gudangnya badai, tempat terdingin, dan minim oksigen. Dari semua kesempatan yang kita dapatkan jika harus menikmati ketinggian dan kedudukan bahwasannya kita di berikan waktu untuk melihat ke bawah, melihat jauh ke depan dan mencoba mendekat dengan yang di atas. Kesempatan untuk merenungi bahwa jagad raya ini begitu luasnya sementara kita begitu kecilnya. Kesempatan untuk berbuat lebih banyak karena saat berada di ketinggian dan kedudukan waktu kita hanya sebentar dan pada saatnya pasti akan turun gunung atau turun tahta juga. Merujuk pada tujuan mendaki gunung adalah puncak bukan tujuan utama yang paling utama adalah mendaki ke puncak dan turun dengan selamat.
Sungguh sangat ironis seperti berita- berita yang kita lihat dan baca dalam media elektronik dan media massa orang-orang yang gagal saat di beri kesempatan harus menggapai kedudukan. Sedikit renungan dari kegelisahan seorang petualang bernama Rifqy Faiza Rahman mahasiswa pertanian Universitas Brawijaya dan pendiri komunitas traveling Gamananta yang menulis dalam kolom Gagasan  Jawa Pos Tgl 08-10-2013 yang berjudul Ajak Pejabat Naik Gunung  alinea ke 2,  Mari kita lihat beberapa pejabat di negeri ini yang kelakuannya penuh tanda Tanya. Senyum mengembang dan acungan jempol kala di gelandang KPK ke mobil tahanan menunjukkan rasa tak tahu malu. Saya sempat berfikiran ingin mengajak mereka naik gunung yang indah di negeri ini seperti Semeru atau rinjani. Mengajak mereka belajar menjadi diri mereka sendiri, belajar dari guru alam. Saya sendiri melihat banyak pejabat kita yang hebat juga memiliki hobi di alam bebas.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PILIH JALANMU SENDIRI UNTUK MENGGAPAI PUNCAK GUNUNG TELOMOYO

Banyak alternatif sarana untuk melakukan perjalanan. Mungkin kamu mempercayakan pada kedua roda motormu, Kokohnya empat roda mo...